Sabtu, 17 Juli 2010

Kisah Para Nabi Allah

Nabi Sulaiman As
Sulaiman (bahasa Arab:سليمان) (sekitar 975-935 SM)[1] merupakan anak Nabi Daud Sejak kecil lagi baginda telah menunjukkan kecerdasan dan ketajaman pikirannya. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 970 SM. Namanya disebutkan sebanyak 27 kali di dalam Al-Quran. Ia wafat di Rahbaam, Baitul Maqdis-Palestina. Pernah memutuskan perkara antara dua orang yang berselisih, yaitu antara pemilik kebun dan pemilik kambing
Genealogi
Sulaiman bin Daud bin Aisya bin Awid dari keturunan Yahuza bin Ya'qub.
Biografi
Raja segala makhluk
Allah SWT mengangkatnya sebagai nabi dan rasul. Setelah Sulaiman cukup umur dan ayahandanya wafat, Sulaiman diangkat menjadi raja di kerajaan Israil. Ia berkuasa tak hanya atas manusia, namun juga atas binatang dan makhluk halus seperti jin dan lain-lain. Baginda dapat memahami bahasa semua binatang
Istana Nabi Sulaiman sangat indah. Dibangun dengan gotong royong manusia, binatang, dan jin. Dindingnya terbuat dari batu pualam, tiang dan pintunya dari emas dan tembaga, atapnya dari perak, hiasan dan ukirannya dari mutiara dan intan, berlian, pasir di taman ditaburi mutiara, dan sebagainya.
Kisah Sulaiman dengan Jin dan Binatang
Nabi Sulaiman dianugerahkan Allah kebijaksanaan sejak remaja. Ia juga memiliki berbagai keistimewaan, termasuk mampu berbicara, memahami dan memberi arahan terhadap jin dan hewan sehingga semua makhluk itu mengikuti kehendaknya.
Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah memberikan ilmu kepada Daud dan Sulaiman dan keduanya mengucapkan; segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dan banyak hambanya yang beriman. Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata; Wahai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini benar-benar satu anugerah yang nyata.”
Kebijaksanaan Sulaiman dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang dilaluinya. Misalnya, beliau coba mengetengahkan ide kepada bapaknya, Nabi Daud a.s bagi menyelesaikan perselisihan antara dua pihak, yaitu antara pemilik kebun dan pemilik kambing.
Walaupun ketika itu usianya masih muda, pendapatnya bernas. Mulanya Nabi Daud memutuskan pemilik kambing supaya menyerahkan ternaknya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi disebabkan ternaknya memasuki dan merusakkan kebun itu. Sulaiman yang mendengar keputusan bapaknya menyelanya: “Wahai bapakku, menurut pandanganku, keputusan itu sepatutnya berbunyi; kepada pemilik tanaman yang telah musnah tanaman diserahkanlah kambingnya untuk dipelihara, diambil hasilnya dan dimanfaatkan bagi keperluannya. “Manakala tanamannya yang binasa itu diserahkan kepada pemilik kambing untuk dijaga sehingga kembali kepada keadaan asal. Kemudian masing-masing menerima kembali miliknya, sehingga dengan cara demikian masing-masing pihak tidak ada yang mendapat keuntungan atau menderita kerugian lebih daripada sepatutnya.” Pendapat yang dikemukakan Sulaiman disetujui kedua pihak. Malah khalayak ramai yang menyaksikan perbicaraan itu kagum dengan kebolehan beliau menyelesaikan perselisihan terbabit.
Bertitik tolak daripada peristiwa itu, kewibawaan Sulaiman semakin tersebar dan ia juga sebagai bibit permulaan kenabian Sulaiman. Melihat kecerdasan akal yang ditonjolkannya itu, Nabi Daud menaruh kepercayaan dengan mempersiapkannya sebagai pengganti dalam kerajaan Bani Israel. Namun, abangnya Absyalum tidak merelakan beliau melangkah lebih jauh dalam hiraki pemerintahan itu, malah mendakwa dia yang sepatutnya dilantik sebagai putera mahkota kerana Sulaiman masih muda dan tidak berpengalaman. Absyalum mau mendapatkan tahta itu dari bapak dan adiknya. Justru, dia mulai menunjukkan sikap baik terhadap rakyat, dengan segala masalah mereka ditangani sendiri dengan segera, membuatkan pengaruhnya semakin meluas.
Sampai satu ketika, Absyalum mengistiharkan dirinya sebagai raja, sekaligus merampas kekuasaan bapaknya sendiri. Tindakannya itu mengakibatkan huru-hara di kalangan Bani Israel. Melihatkan keadaan itu, Nabi Daud keluar dari Baitul Maqdis, menyeberangi Sungai Jordan menuju ke Bukit Zaitun. Tindakannya itu semata-mata mau mengelakkan pertumpahan darah, namun Absyalum dengan angkuh memasuki istana bapanya. Di Bukit Zaitun, Nabi Daud memohon petunjuk Allah supaya menyelamatkan kerajaan Bailtul Maqdis daripada dimusnahkan anaknya yang durhaka itu. Allah segera memberi petunjuk kepada Nabi Daud, yaitu memerangi Absyalum. Namun, sebelum memulai peperangan itu, Nabi Daud berpesan kepada tentaranya supaya tidak membunuh anaknya itu, malah jika boleh ditangkap hidup-hidup. Bagaimanapun, kuasa Allah melebihi segalanya dan ditakdirkan Absyalum mati juga kerana dia mau bertarung dengan tentara bapaknya.
Kemudian, Nabi Daud kembali ke Baitul Maqdis dan menghabiskan sisa hidupnya selama 40 tahun di istana itu sebelum melepaskan takhta kepada Sulaiman. Kewafatan Nabi Daud memberikan kuasa penuh kepada Nabi Sulaiman untuk memimpin Bani Israel berpandukan kebijaksanaan yang dianugerah Allah. Ia juga dapat menundukkan jin, angin dan burung, sehingga dapat disuruh melakukan apa saja, termasuk mendapatkan tembaga dari perut bumi untuk dijadikan perkakasan.
Firman Allah bermaksud: “Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman yang perjalanannya pada waktu petang, sama dengan perjalanan sebulan dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian daripada jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpan antara mereka daripada perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.”
Ratu Balqis tunduk kepada Sulaiman
Setelah membangunkan Baitul Muqaddis, Nabi Sulaiman menuju ke Yaman. Tiba di sana, disuruhnya burung hud-hud (sejenis pelatuk) mencari sumber air. Tetapi burung berkenaan tiada ketika dipanggil. Ketiadaan burung hud-hud menimbulkan kemarahan Sulaiman. Selepas itu burung hud-hud datang kepada Nabi Sulaiman dan berkata: "Aku telah terbang untuk mengintip dan terjumpa suatu yang sangat penting untuk diketahui oleh tuan..."
Firman Allah, bermaksud: "Maka tidak lama kemudian datanglah hud-hud, lalu ia berkata; aku telah mengetahui sesuatu, yang kamu belum mengetahuinya dan aku bawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.
"Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah..."
Mendengar berita itu, Nabi Sulaiman mengutuskan surat mengandungi nasihat supaya menyembah Allah kepada Ratu Balqis. Surat itu dibawa burung hud-hud dan diterima sendiri Ratu Balqis. Selepas dibaca surat itu, Ratu Balqis menghantarkan utusan bersama hadiah kepada Sulaiman. Dalam al-Quran diceritakan: "Tatkala utusan itu sampai kepada Nabi Sulaiman, seraya berkata; apakah patut kamu menolong aku dengan harta?
"Sesungguhnya apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikannya kepadamu, tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.
"Kembalilah kepada mereka, sungguh kami akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak mampu melawannya dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi tawanan yang tidak berharga."
Utusan itu kembali ke negeri Saba dan menceritakan pengalaman yang dialami di Yaman kepada Ratu Balqis, sehingga dia berhajat untuk berjumpa sendiri dengan Sulaiman. Keinginan Ratu Balqis untuk datang itu diketahui Nabi Sulaiman terlebih dulu. Beliau segera memerintahkan seluruh tentaranya yang terdiri dari manusia, haiwan dan jin untuk membuat persiapan bagi menyambut kedatangan Ratu Balqis. Nabi Sulaiman kemudian menitahkan untuk memindahkan singasana Ratu Balqis ke istana beliau. Adalah Ashif bin Barqoyya dari golongan manusia menyanggupi untuk melaksanakan titah tersebut dengan kecepatan angin. Ifrit dari golongan jin, menyanggupi untuk membawa singasana itu bahkan sebelum mata menutup ketika berkejap. Begitulah akhirnya singgasana Ratu Balqis dibawa oleh Ifrit ke dalam istana Nabi Sulaiman lebih cepat dari kejapan mata. Manakala Ratu Balqis tiba, ia ditanya oleh Sulaiman: "Seperti inikah singgahsanamu?" Dengan terperanjat, Ratu Balqis menjawab: "Ya, memang sama apa yang seperti singgahsanaku" Kemudian Ratu Balqis dipersilakan masuk ke istana Nabi Sulaiman. Namun, ketika berjalan di istana itu, sekali lagi Ratu Balqis terpedaya, karena menyangka lantai istana Sulaiman terbuat dari air, sehingga ia menyingkap kainnya.
Firman Allah yang bermaksud: Dikatakan kepadanya; masuklah ke dalam istana. Maka tatkala dia (Ratu Balqis) melihat lantai istana itu, dikiranya air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya.
Berkatalah Sulaiman; "sesungguhnya ia istana licin yang diperbuat daripada kaca". Berkatalah Balqis; "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman dan kepada Allah, Tuhan semesta alam."
Peristiwa itu menyebabkan Ratu Balqis berasa sangat aib dan menyadari kelemahannya, sehingga dia memohon ampun atas kesilapannya selama ini dan akhirnya dia diperisterikan oleh Nabi Sulaiman.
Kewafatan Baginda
Kisah Sulaiman dan tentaranya yang terdiri daripada manusia, hewan dan jin dalam menjalankan dakwah Allah terhadap Ratu Balqis. Kematian beliau berlainan dengan manusia biasa. Nabi Sulaiman wafat dalam keadaan duduk di kerusi, dengan memegang tongkat sambil mengawasi dan memperhatikan jin yang bekerja.
Firman Allah: "Tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka setelah kematiannya itu melainkan rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, nyatalah bagi jin itu bahawa sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam seksa yang menghinakan."
 Taubat Nabi Seulaiman AS
Nabi Sulaiman adalah seorang yang banyak berperang. Beliau melakukan peperangan baik di darat maupun di laut. Suatu ketika beliau mendengar ada seorang raja di sebuah pulau di seberang lautan. Berangkatlah Sulaiman dengan berkendaraan angin disertai oleh bala tentaranya yang terdiri dari jin dan manusia. Setelah sampai, mereka pun turun dipulau tersebut, lalu membunuh rajanya dan menawan semua penduduknya dan memboyong seorang gadis yang kecantikannya dan keindahannya belum pernah beliau lihat. Dia adalah putri raja tersebut. Lalu Sulaiman memilihnya untuk dijadikan istri.
Nabi Sulaiman menemukan sesuatu yang tidak ia temukan pada yang lain dan kecintaan beliau kepadanya juga melebihi kepada semua istrinya.
Suatu hari Nabi Sulaiman masuk menemuinya, istrinya itu berkata, "Aku teringat pada ayahku, kerajannya dan peristiwa yang menimpanya,sehingga membuatku selalu sedih. Jika engkau berkenan sudilah kiranya memerintahkan sebagian setan untuk membuat patung ayahku dirumahku ini, agar aku dapat menatapnya pagi dan sore, dengan harapan akan menghilangkan kesedihanku dan menjadi terhibur kembali."
Maka Sulaiman memerintahkan Shakhr al-Madrid. Lalu ia membuat patung yang benar-benar pas dengan sosok ayahnya, hanya saja tidak bernyawa. Patung itu diletakkan pada salah satu sudut rumahnya. Sang istri lalu mendatangi patung itu kemudian menghiasinya dan mengenakan pakian padanya, hingga sama seperti keadaan ayahnya. Ketika Nabi Sulaiman pergi keluar rumah, sang istri segera mendatangi patung itu bersama para dayang dan kemudian menaburkan wewangian. Selanjutnya, sang
istri bersujud yang diikuti oleh dayang-dayangnya. Sulaiman as sendiri tidak mengetahui apa yang dilakukan istrinya, hingga hal itu berlangsung selama 40 hari.
Dan akhirnya kabar itu sampai kepada orang-orang dan didengar pula oleh Ashif bin Barkhaya, sahabat karib Nabi Sulaiman as. Ashif bin Barkhaya segera menghadap dan berkata, "Wahai Nabi Allah! Aku sungguh senang berada ditempat dimana aku dapat mengingat kembali para Nabi
Allah pada masa lalu dan memuji mereka sesuai dengan yang saya ketahui tentang mereka." Lalu Nabi Sulaiman mengumpulkan orang-orang.
Ashif bin Barkhaya pun lalu berdiri dihadapan mereka unutk menceritakan kisah para Nabi Allah, memuji setiap Nabi sesuai yang ia ketahui, dan menyebutkan pula karunia yang telah Alllah berikan
kepada mereka, hingga berakhir pada Nabi Sulaiman. Beliau menyebutkan karunia da keutamaan yang telah Allah limpahkan kepadanya pada masa kecil dan pada masa muda belianya, kemudian Ashif diam, tidak melanjutkan ceritanya. Hal itu membuat Nabi Sulaiman murka.
Beliau segera masuk ke ruangannnya dan mengutus seseorang untuk membawa Ashif menghadapnya. Beliau berkata, "Wahai Ashif! Engkau telah sebutkan kisah para Nabi Allah dan memuji mereka sesuai dengan yang mereka lakukan pada zamannya secara keseluruhan. Akan tetapi
ketika engkau menceritakan kisahku, kau hanya memujiku dengan kebaikan dimasa kecilku dan meninggalkan kisahku saat aku usia lanjut. Apa sebenarnya yang telah kulakukan di usia lanjutku ini?"
Ashif menjawab, "Engkau telah melakukan sesuatu yang baru, yakni selain Allah ada yang disembah di dalam rumahmu sejak 40 hari yang lalu dibawah pimpinan seorang wanita." Nabi Sulaiman berkata, "Dirumahku?" "Ya dirumahmu," jawab Ashif. Nabi Sulaiman mengucap. "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun!" Sekarang aku tahu, tidaklah engkau mengatakan sesuatu kecuali bersumber dari sesuatu yang telah disampaikan kepadamu."
Kemudian beliau pulang dan menghancurkan patung itu, serta menghukum sang istri dan dayang-dayang yang mengikutinya. Lalu beliau meminta
agar diambilkan pakaian yang bersih untuk dikenakannya, dan keluar menuju sebuah tanah lapang. Di atas hamparan debu beliau menghadap Allah SWT bertobat, dan memohon ampun. Beliau duduk bersimpuh diatas hamparan debu itu merendahkan diri sambil menangis serta memohon
ampun kepada Allah dengan berkata, "Wahai Tuhanku! Cobaan apa ini
yang telah engkau timpakan kepada keluarga Daud as, dimana mereka
menyembah selain Engkau? Di rumah mereka bersama keluarganya telah
disembah selain Engkau!"
Nabi Sulaiman tetap bertahan dengan apa yang telah dilakukannya itu
hingga menjelang sore, setelah itu barulah beliau pulang ke rumah.
Pada saat itu belia mempunyai seorang dayang yang bernama Aminah.
Apabila Nabi Sulaiman hendak buang air besar atau menunaikan hajatnya
dengan salah seorang istrinya, ia selalu menitipkan cincinnya kepada
Aminah. Ia tidak mau menyentuh cincin itu kecuali dalam keadaan suci.
Allah telah menjadikan kekuatan kerajannya pada cincin tersebut. Pada
suatu hari ia hendak berwudu, maka ia menyerahkan cincin itu kepada
Aminah.
Tiba-tiba datanglah Shakhr al-Madrid mendahului Sulaiman as masuk
ketempat wudu. Nabi Sulaiman sendiri masuk ke kamar kecil untuk buang
air. Lalu keluarlah setan (Shakhr al-Madrid) dalam bentuk rupa Sulaiman, mengibas-ngibaskan jenggotnya dari air wudu. Sedikit pun tidak ada yang menduga bila dia bukan Nabi Sulaiman. Kemudian dia
berkata, "Mana cincinku, Aminah!" Aminah segera memberikannya dan sama sekali tidak menduga bahwa itu bukanlah Sulaiman as. Lalu ia kenakan cincin itu di tangannya dan segera pergi menuju singgasana Nabi Sulaiman as. Di atas singgasana tersebut, dia dikelilingi oleh
sekawanan burung, jin, dan manusia. Keluarlah Nabi Sulaiman dan berkata kepada Aminah, "Mana cincinku?" Aminah bertanya, "Siapakah engkau ini?" "Aku ini Sulaiman bin Daud," jawab Sulaiman. Saat itu Nabi Sulaiman sudah berbah dari keadaan semula dan hilang pula
kewibawaannya. Aminah berkata, "Kau dusta! Sesungguhnya Sulaiman
telah mengambil cincinnya dan dia sekarang sedang duduk di singgasana
kerajaannya." Maka tahulah Sulaiman bahwa dia telah melakukan kesalahan.
Kemudian pergilah Nabi Sulaiman as meninggalkan istananya karena khawatir akan dirinya, hanya dengan mengenakan sehelai baju dan kain sarung beliau pergi tanpa peduli tidak memakai alas kaki dan songkok.
Akhirnya beliau melewati sebuah rumah di pinggir jalan pada saat merasakan kepayahan karena lapar,dahaga, dan kepanasan. Beliau mendatangi rumah itu dan mengetuk pintunya. Maka keluarlah seorang perempuan dan berkata, "Ada perlu apa?" "Aku mau bertamu sebentar,"
jawab belia. "Engkau saksikan sendiri aku sedang kepanasan. Kedua kakiku terbakar dan aku sangat kelaparan dan kehausan," kata Nabi Sulaiman lagi. Wanita itu berkata, "Suamiku sedang tidak ada di
rumah, dan aku tidak bisa menerima tamu laki-laki asing. Pergilah kekebun, di sana ada air dan buah-buahan. Engkau boleh memakan buah-buahannya dan mandi, mendinginkan badan. Nanti apabila suamiku telah datang aku akan meminta izinnya menerimamu sebagai tamu. Bila suamiku mengizinkannya engkau boleh bertamu dan jika tidak toh engkau telah
mendapatkan rezeki dari Allah [makanan dan minuman] dan engkau boleh
pergi."
Nabi Sulaiman pun masuk ke kebun lalu mandi. Setelah mandi beliau merendahkan dirinya hingga tertidur. Namun ada lalat
yang mengganggunya. Tiba-tiba datanglah seekor ular hitam mengambil sebatang ranting pohon raihanah (kayu yang wangi) dari kebun itu dengan mulutnya mendekati Sulaiman, lalu mengusir lalat itu
dengannya. Hal itu terus dilakukan hingga datanglah suami wanita itu.
Sang istri pun bercerita tentang perihal tamu asing itu. Si suami segera menemui Sulaiman. Ketika melihat seekor ular dan apa yang sedang dilakukannya, segera ia memanggil istrinya dan berkata, "Kemarilah, lihatlah keajaiban ini!" Lalu sang istri turut menyaksikannya. Kemudain keduanya berjalan mendekati Sulaiman dan membangunkannya. Setelah itu keduanya berkata, "Wahai pemuda! Ini
adalah rumah kami. Kami tidak akan melakukan sesuatu pun yang memberatkanmu. Dan ini putriku, akan kujodohkan denganmu." Putrinya
itu adalah wanita tercantik dizamannya. Akhirnya Sulaiman menikahinya
dan tinggal bersama mereka selama tiga hari. Kemudian ia berkata, "Aku harus mencari pekerjaan demi kehidupanku dan istriku."
Berangkatlah Nabi Sulaiman untuk menemui orang-orang yang biasa
berburu. Belia berkata kepada mereka, "Apakah engkau semua masih
membutuhkan seseorang untuk membantu kalian, sehingga dari hasil buruan anda dapat memberikan sedikit upah kepadanya. Setiap orang akan Allah bagikan rezekinya masing-masing?" Mereka berkata, "Kami sudah tidak berburu lagi. Kami juga tidak mempunyai sesuatu yang bisa kami berikan kepadamu." Kemudain beliau pergi menemui yang lainnya.
Beliau berkata kepada mereka seperti perkataannya yang semula. Maka
mereka menjawab, "Ya, dengan senang hati kami akan membantumu dengan
apa yang ada pada kami."
Nabi Sulaiman tinggal bersama mereka dan setiap malam beliau datang menemui istrinya dengan membawa hasil buruan. Hingga akhirnya orang-orang mengingkari keputusan pengadilan Sulaiman [palsu] dan tindakannya. Ketika si jahat (Shakhr al-Madrid) mengetahui bahwa semua orang telah mengenalinya, dia pun pergi ,meninggalkan istana dan
membuang cincin itu ka laut. Shakhr al-Madrid telah mengenakan cincin itu selama 40 hari.
Diceritakan bahwasanya dia telah menduduki kursi Nabi Sulaiman as dan
dikelilingi oleh jin,mnusia, dan setan-setan. Dia telah menguasai segala sesuatu yang telah dimiliki Nabi Sulaiman as, kecuali istri-istinya yang tidak ia kuasai. Sementara Sulaiman as meminta-minta,
mengetuk pintu dari rumah ke rumah. Dan pernah beliu mendatangi suatu rumah, di depan pintu, dihadapan sepasang suami istri, beliau berkata, "Berilah aku makanan, aku adalah Sulaiman bin Daud." Mereka
malah mengusirnya seraya berkata, "Apa yang membuatmu berdusta atas
nama Sulaiman?" Padahal beliau kini sedang duduk di singgasana
kerajaannya. Demikianlah seterusnya, hingga beliau kepayahan dan
benar-benar menderita dimana cobaan semakin berat. Ketika telah genap
40 hari, Ashif berkata, "Wahai orang-orang Bani Israil! Apakah kalian dapat merasakan kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh putra Daud, seperti yang kurasakan?" Mereka menjawab, "Ya." Ketika Sakhr al_madrid mengetahui hal itu, ia segera pergi dan melemparkan cincin
tersebut ke laut. Cincin itu disambut oleh seekor ikan dan ditelannya. Ikan itu lalu merasakan seolah-olah perutnya terbakar
karena pancaran cincin itu. Kemudian ikan itu terbawa arus air dan terperangkap pada jaring para pelaut, termasuk Nabi Sulaiman as. Pada sore harinya mereka membagi-bagi ikan. Nabi Sulaiman mendapatkan
bagian yang menelan cincin itu.
Beliau segera pulang menemui istrinya, dan menyuruhnya memasak ikan itu. Tatkala sang istri membelah perut ikan itu, seketika rumah menjadi terang karena pancaran cahaya cincinnya. Si istri segera
memanggil Sulaiman dan memperlihatkan cincin tersebut. Lalu Sulaiman mengenakan cincinnya itu dan langsung bersujud kepada Allah seraya berkata, "Tuhanku! Hanya untuk-Mu lah segala puji atas berlalunya
cobaan-Mu dan kebaikan-Mu atas keluarga Daud. Tuhanku! Engkau telah memberikan beberapa nikmat kepada mereka (keluarga Daud) dan Engkau juga telah mewariskan kepada mereka al-Kitab, dan kenabian. Hanya untuk-Mu lah segala puji. Tuhanku! Engkau telah berbuat murah kepada yang besar dan mengasihi terhadap yang kecil. Hanya untuk-Mu lah
segala puji. Nikmat-Mu telah muncul dan tidak akan samar lagi. Nikmat itu begitu banyak sehingga tidak dapat dihitung. Hanya untuk-Mu lah segala puji. Tuhanku! Engkau tidak membiarkan aku karena kesalahanku. Hanya untuk-Mu lah segala puji. Engkau tidak menghinakan aku dengan sebab kesalahanku. Hanya engkaulah yang berhak dipuji. Tuhanku!
Sempurnakanlah nikmat-Mu kepadaku, ampunilah kesalah-kesalahanku yang
telah lalu, dan berikanlah aku kerajaan yang tidak mungkin dimiliki orang sesudahku. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah SWT, "Sesungguhnya kami telah menguji Sulaiman dan kami jadikan [dia] tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh [yang lemah karena sakit]
kemudian dia bertobat." (QS. Shad: 34)
Diriwayatkan oleh Ikrimah bahwa ketika Sulaiman telah mendapatkan kembali kerajaannya, maka beliau memerintahkan agar membawa semua penghuni rumah itu dan mempersilakan mereka duduk ditengah-tengah kerajaannya. Ia tidak pernah mendapatkan wanita itu sebelum Allah mengembalikan kerajaan kepadanya.
**) Para ulama menyatakan bahwa cerita tentang kisah cincin dan penyembahan patung dirumah Sulaiman as adalah sebagian dari kebohongan-kebohongan ahlul kitab. Oleh karenanya al-Hafizh Ibn
Katsir mengatakan di dalam tafsirnya, "Kisah ini telah diceritakan
secara panjang lebar oleh sekelompok salaf (terdahulu), seperti:
Sa'id bin al-Musayyab, Zaid bin Aslam, dan kelompok lain. Dan semuanya diambil dari cerita-cerita ahlulkitab.

Sabtu, 03 Juli 2010

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Masa Bakti 2004 -

 Jend. TNI (Purn.) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (lahir di Tremas, Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, Indonesia, 9 September 1949; umur 60 tahun) adalah Presiden Indonesia ke-6 yang menjabat sejak 20 Oktober 2004. Ia, bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, terpilih dalam Pemilu Presiden 2004. Ia berhasil melanjutkan pemerintahannya untuk periode kedua dengan kembali memenangkan Pemilu Presiden 2009, kali ini bersama Wakil Presiden Boediono. Sehingga, sejak era reformasi dimulai, Susilo Bambang Yudhoyono merupakan Presiden Indonesia pertama yang menyelesaikan masa kepresidenan selama 5 tahun dan berhasil terpilih kembali untuk periode kedua.
Yudhoyono yang dipanggil "Sus" oleh orang tuanya dan populer dengan panggilan "SBY", melewatkan sebagian masa kecil dan remajanya di Pacitan. Ia merupakan seorang pensiunan militer. Selama di militer ia lebih dikenal sebagai Bambang Yudhoyono. Karier militernya terhenti ketika ia diangkat Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada tahun 1999 dan tampil sebagai salah seorang pendiri Partai Demokrat. Pangkat terakhir Susilo Bambang Yudhoyono adalah Jenderal TNI sebelum pensiun pada 25 September 2000. Pada Pemilu Presiden 2004, keunggulan suaranya dari Presiden Megawati Soekarnoputri membuatnya menjadi presiden pertama yang terpilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat Indonesia. Hal ini dimungkinkan setelah melalui amandemen UUD 1945.
Dalam kehidupan pribadinya, Ia menikah dengan Kristiani Herrawati yang merupakan anak perempuan ketiga Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo (alm), komandan RPKAD (kini Kopassus) yang turut membantu menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965.
Latar belakang dan keluarga
Ia lahir di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur pada 9 September 1949 dari anak pasangan Raden Soekotjo dan Siti Habibah. Dari ayahnya, silsilahnya dapat dilacak hingga Pangeran Buwono Keling dari Kerajaan Majapahit dengan RM. Kustilah yang merupakan keturunan Gusti Bandoro Ayu (putri Sri Sultan Hamengkubuwono III.Seperti ayahnya;, ia pun berkecimpung di dunia kemiliteran. Selain tinggal di kediaman keluarga di Bogor (Jawa Barat), SBY juga tinggal di Istana Merdeka, Jakarta. Susilo Bambang Yudhoyono menikah dengan Kristiani Herawati yang adalah anak perempuan ketiga Jenderal (Purnawirawan) Sarwo Edhi Wibowo (alm). Komandan militer Jenderal Sarwo Edhi Wibowo turut membantu menumpas PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1965. Dari pernikahan mereka lahir dua anak lelaki, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (lahir 1979) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lahir 1982).
Agus adalah lulusan dari SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dan Akademi Militer Indonesia tahun 2000. Seperti ayahnya, ia juga mendapatkan penghargaan Adhi Mekayasa dan seorang prajurit dengan pangkat Letnan Satu TNI Angkatan Darat yang bertugas di sebuah batalion infantri di Bandung, Jawa Barat. Agus menikahi Anissa Larasati Pohan, seorang aktris yang juga anak dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Sejak pertengahan 2005, Agus menjalani pendidikan untuk gelar master-nya di Strategic Studies at Institute of Defense and Strategic Studies, Singapura. Anak yang bungsu, Edhie Baskoro lulus dengan gelar ganda dalam Financial Commerce dan Electrical Commerce tahun 2005 dari Curtin University of Technology di Perth, Australia Barat.
 Pendidikan
1.Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 19732.American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
3.Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
4.Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
4.On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
5.Jungle Warfare School, Panama, 1983
6.Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman, 1984
7.Kursus Komando Batalyon, 1985
8.Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
9.Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas, AS
10.Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
11.Doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2004
Karier militer
Tahun 1973, ia lulus dari Akademi Militer Indonesia (Akabri: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan penghargaan Adhi Makayasa sebagai murid lulusan terbaik dan Tri Sakti Wiratama yang merupakan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan intelek. Periode 1974-1976, ia memulai karier di Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad. Pada tahun 1976, ia belajar di Airborne School dan US Army Rangers, American Language Course (Lackland-Texas), Airbone and Ranger Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Kariernya berlanjut pada periode 1976-1977 di Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad, Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977), Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978, Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981, Paban Muda Sops SUAD (1981-1982. Periode 1982-1984, ia belajar di Infantry Officer Advanced Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Tahun 1983, ia belajar pada On the job training in 82-nd Airbone Division (Fort Bragg) Amerika Serikat, Jungle Warfare School (Panama, Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman pada tahun 1984, Kursus Komando Batalyon (1985) dan meniti karier di Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985), Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988), dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988).
Periode 1988-1989, ia belajar di Sekolah Komando Angkatan Darat dan melanjutkan ke US Command and General Staff College pada tahun 1991. Periode (1989-1993), ia bekerja sebagai Dosen Seskoad Korspri Pangab, Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994, Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995) serta Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (1995-1996). Pada tahun 1997, ia diangkat sebagai Kepala Staf Teritorial TNI. Ia pensiun dari kemiliteran pada 1 April 2001 oleh karena pengangkatannya sebagai menteri.
Lulusan Command and General Staff College (Fort Leavenwort) Kansas Amerika Serikat dan Master of Art (MA) dari Management Webster University Missouri ini juga meniti karier di Kasdam Jaya (1996), dan Pangdam II/Sriwijaya sekaligus Ketua Bakorstanasda. Karier militernya terhenti sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI) dengan pangkat Letnan Jenderal.
Karier politik
Tampil sebagai juru bicara Fraksi ABRI menjelang Sidang Umum MPR 1998 yang dilaksanakan pada 9 Maret 1998 dan Ketua Fraksi ABRI MPR dalam Sidang Istimewa MPR 1998. Pada 29 Oktober 1999, ia diangkat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi di pemerintahan pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Setahun kemudian, tepatnya 26 Oktober 1999, ia dilantik sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) sebagai konsekuensi penyusunan kembali kabinet Abdurrahman Wahid.Dengan keluarnya Maklumat Presiden pada 28 Mei 2001 pukul 12.00 WIB, Menko Polsoskam ditugaskan untuk mengambil langkah-langkah khusus mengatasi krisis, menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya lantaran situasi politik darurat yang dihadapi pimpinan pemerintahan. Saat itu, Menko Polsoskam sebagai pemegang mandat menerjemahkan situasi politik darurat tidak sama dengan keadaan darurat sebagaimana yang ada dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1959.
Belum genap satu tahun menjabat Menko Polsoskam atau lima hari setelah memegang mandat, ia didesak mundur pada 1 Juni 2001 oleh pemberi mandat karena ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR. Jabatan pengganti sebagai Menteri Dalam Negeri atau Menteri Perhubungan yang ditawarkan presiden tidak pernah diterimanya.
Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri melantiknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) pada 10 Agustus 2001. Merasa tidak dipercaya lagi oleh presiden, jabatan Menko Polkam ditinggalkannya pada 11 Maret 2004. Berdirinya Partai Demokrat pada 9 September 2002 menguatkan namanya untuk mencapai kerier politik puncak. Ketika Partai Demokrat dideklarasikan pada 17 Oktober 2002, namanya dicalonkan menjadi presiden dalam pemilu presiden 2004.
Setelah mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam dan sejalan dengan masa kampanye pemilu legislatif 2004, ia secara resmi berada dalam koridor Partai Demokrat. Keberadaannya dalam Partai Demokrat menuai sukses dalam pemilu legislatif dengan meraih 7,45 persen suara. Pada 10 Mei 2004, tiga partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang secara resmi mencalonkannya sebagai presiden dan berpasangan dengan kandidat wakil presiden Jusuf Kalla.
Ringkasan karier
1.Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
2.Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
3.Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
4.Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
5.Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
6.Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
7.Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
8.Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
9.Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
10.Dosen Seskoad (1989-1992)
11.Korspri Pangab (1993)
12.Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
13.Asops Kodam Jaya (1994-1995)
14.Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
15.Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
16.Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
17.Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
18.Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
19.Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
20.Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
21.Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid)
22.Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri) mengundurkan diri 11 Maret 2004
23.Presiden Republik Indonesia (2004-Sedang Menjabat)
Penugasan
Operasi Timor Timur (1979-1980), dan 1986-1988
Jenderal TNI (Purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah ditugaskan dalam sebuah operasi di Timor-Timur pada periode 1979-1980 dan 1986-1988 ini meraih gelar doktor (PhD) dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 3 Oktober 2004. Pada 15 Desember 2005, ia menerima gelar doktor kehormatan di bidang ilmu politik dari Universitas Thammasat Bangkok (Thailand)[1]. Dalam pidato pemberian gelar, ia menegaskan bahwa politik merupakan seni untuk perubahan dan transformasi dalam sebuah negara demokrasi yang damai. Ia tidak yakin sepenuhnya kalau politik itu adalah ilmu
Penghargaan
1.Tri Sakti Wiratama (Prestasi Tertinggi Gabungan Mental Fisik, dan Intelek), 1973
2.Adhi Makayasa (lulusan terbaik Akabri 1973)
3.Satya Lencana Seroja, 1976
4.Honor Graduate IOAC, USA, 1983
5.Satya Lencana Dwija Sista, 1985
6.Lulusan terbaik Seskoad Susreg XXVI, 1989
7.Dosen Terbaik Seskoad, 1989
8.Satya Lencana Santi Dharma, 1996
9.Satya Lencana United Nations Peacekeeping Force (UNPF), 1996
10.Satya Lencana United Nations Transitional Authority in Eastern Slavonia, Baranja, and Western Sirmium (UNTAES), 1996
11.Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, 1998
12.Bintang Yudha Dharma Nararya, 1998
13.Wing Penerbang TNI-AU, 1998
14.Wing Kapal Selam TNI-AL, 1998
15.Bintang Kartika Eka Paksi Pratama, 1999
16.Bintang Yudha Dharma Pratama, 1999
17.Bintang Dharma, 1999
18.Bintang Maha Putera Utama, 1999
19.Tokoh Berbahasa Lisan Terbaik, 2003
20.Bintang Asia (Star of Asia), 2005, oleh BusinessWeek
21.Bintang Kehormatan Darjah Kerabat Laila Utama, 2006, oleh Sultan Brunei
22.Doktor Honoris Causa, 2006, oleh Universitas Keio
23.Darjah Utama Seri Mahkota, 2008, oleh Yang DiPertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin
24.100 tokoh Berpengaruh Dunia 2009 kategori Pemimpin & Revolusioner Majalah TIME, 2009, oleh TIME
Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah dicalonkan untuk menjadi penerima penghargaan Nobel perdamaian 2006 bersama dengan Gerakan Aceh Merdeka dan Martti Ahtisaari atas inisiatif mereka untuk perdamaian di Aceh.
Masa kepresidenan
MPR periode 1999-2004 mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 sehingga memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilu presiden dua tahap kemudian dimenanginya dengan 60,9 persen suara pemilih dan terpilih sebagai presiden. Dia kemudian dicatat sebagai presiden terpilih pertama pilihan rakyat dan tampil sebagai presiden Indonesia keenam setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia unggul dari pasangan Presiden Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi pada pemilu 2004.Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) sebagai prioritas penting dalam kepemimpinannya selain kasus terorisme global. Penanggulangan bahaya narkoba, perjudian, dan perdagangan manusia juga sebagai beban berat yang membutuhkan kerja keras bersama pimpinan dan rakyat.
Di masa jabatannya, Indonesia mengalami sejumlah bencana alam seperti gelombang tsunami, gempa bumi, dll. Semua ini merupakan tantangan tambahan bagi Presiden yang masih bergelut dengan upaya memulihkan kehidupan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat.
Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk UKP3R, sebuah lembaga kepresidenan yang diketuai oleh Marsilam Simandjuntak pada 26 Oktober 2006.[2] Lembaga ini pada awal pembentukannya mendapat tentangan dari Partai Golkar seiring dengan isu tidak dilibatkannya Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembentukannya serta isu dibentuknya UKP3R untuk memangkas kewenangan Wakil Presiden, tetapi akhirnya diterima setelah SBY sendiri menjelaskannya dalam sebuah keterangan pers.[1]
Layanan SMS Presiden
Sekitar bulan Juni 2005, Presiden SBY memulai layanan pesan singkat (SMS) ke nomor telepon selulernya di 0811109949 namun esok harinya terjadi gangguan teknis karena banyaknya SMS yang masuk dan sekarang diganti cukup dengan SMS ke 9949 setelah itu SMS akan dipilih dan disampaikan ke presiden. Nomor 9949 adalah tanggal lahir beliau (9 September 1949).
Tanggal 28 Juni 2005, Presiden SBY mengirimkan SMS kepada masyarakat dengan nama pengirim Presiden RI yang berisi tentang pencegahan narkoba.[3] Kebenaran SMS ini sudah dikonfirmasikan dan juru bicara Presiden menyatakan berbagai SMS akan menyusul.
Presiden Megawati Soekarnoputri
Masa Bakti 2001 -- 2004
Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau umum dikenal sebagai Megawati Soekarnoputri (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947; umur 63 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak presiden Indonesia pertama yang mengikuti jejak ayahnya menjadi presiden. Pada 20 September 2004, ia kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam tahap kedua pemilu presiden 2004.Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Sidang Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001. Sebelumnya dari tahun 1999-2001, ia menjabat Wakil Presiden di bawah Gus Dur.
Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1999.
 Kehidupan awal
 Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunya Fatmawati kelahiran Bengkulu di mana Sukarno dahulu diasingkan pada masa penjajahan belanda. Megawati dibesarkan dalam suasana kemewahan di Istana Merdeka.
Dia pernah menuntut ilmu di Universitas Padjadjaran di Bandung (tidak sampai lulus) dalam bidang pertanian, selain juga pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (tetapi tidak sampai lulus).
Karir politik Mega yang penuh liku seakan sejalan dengan garis kehidupan rumah tangganya yang pernah mengalami kegagalan. Suami pertamanya, seorang pilot AURI, tewas dalam kecelakaan pesawat di laut sekitar Biak, Irian Jaya. Waktu itu usia Mega masih awal dua puluhan dengan dua anak yang masih kecil. Namun, ia menjalin kasih kembali dengan seorang pria asal Mesir, tetapi pernikahannya tak berlangsung lama. Kebahagiaan dan kedamaian hidup rumah tangganya baru dirasakan setelah ia menikah dengan Moh. Taufiq Kiemas, rekannya sesama aktivis di GMNI dulu, yang juga menjadi salah seorang penggerak PDIP.
Karir Politik
Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada Megawati. Karena sejak mahasiswa, saat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, ia pun aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia).1986
Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Karir politiknya terbilang melesat. Mega hanya butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI.
Tahun 1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
Tahun 1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
1997
Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.
Tahun1999
Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri (1999-2001)
Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara.
Tahun 2001
Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI.
Tahun 2004
Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.
Perjalanan karier
1.Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Bandung), (1965)2.Anggota DPR-RI, (1993)
3.Anggota Fraksi DPI Komisi IV
4.Ketua DPC PDI Jakarta Pusat, Anggota FPDI DPR-RI, (1987-1997)
5.Ketua Umum PDI versi
6.Munas Kemang (1993-sekarang) PDI yang dipimpinnya berganti nama menjadi PDI Perjuangan pada 1999- sekarang
7.Wakil Presiden Republik Indonesia, (Oktober 1999-23 Juli 2001)
8.Presiden Republik Indonesia ke-5, (23 Juli 2001-2004)
Perjalanan pendidikan
1.SD Perguruan Cikini Jakarta, (1954-1959)
2.SLTP Perguruan Cikini Jakarta, (1960-1962)
3.SLTA Perguruan Cikini Jakarta, (1963-1965)
4.Fakultas Pertanian UNPAD Bandung (1965-1967), (tidak selesai)
5.Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972), (tidak selesai)
Presiden Abdurrahman Wahid
Masa Bakti 1999 -- 2001

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun[1]) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Kehidupan awal
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2] Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3]. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[4][5] Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.[5]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[6]. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya
Pendidikan di luar negeri
 Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.[8]
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas [9].
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan [10].
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya.[11] Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.[11] Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad.[12] Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[13] Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Awal karier 
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) [14], organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya [15]. Pada tahun 1974, Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam. Sekali lagi, Wahid mengungguli pekerjaannya dan Universitas ingin agar Wahid mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi. Namun, kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar subyek-subyek tersebut. Sementara menanggung semua beban tersebut, Wahid juga berpidato selama ramadhan di depan komunitas Muslim di Jombang.
Nahdlatul Ulama 
Awal keterlibatanLatar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga [16]. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya [17]. Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.
Mereformasi NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan keketuaan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya [18].
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara [19]. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.[20]
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.[21] Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia.[22] Hal ini merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.[23] Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim.[24] Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi".[25]
Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru
Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.[26] Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.[27] Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.[28]
Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi.[29] Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.[30] Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia terkena stroke pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya.[31] Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
 Reformasi
Pembentukan PKB dan Pernyataan CiganjurSalah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga pertai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim.[32] Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden.[33] Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.[34]
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Kepresidenan
Tahun 1999

Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup.[35]Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina.[36]
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.[35] Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur dengan Israel [37].
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.[38]
Tahun 2000
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.[39]
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.[40]
Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat.[41] Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan.[42] Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.[43]
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia.[44] Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.[45]
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan.[46]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.[47]
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.[48] Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas.[49] Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia.[50] Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.[51]
Tahun 2001 dan akhir kekuasaanPada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional.[52] Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.[53] Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.[54] Pertempuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.[55]. Namun, demonstran NU terus menunjukan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.[56] Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan,[57] yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.[58] Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan.[59]. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar[60] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.[61] Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.
 Aktivitas setelah kepresidenan
Perpecahan pada tubuh PKBSebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.[63] Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah Munas Matori selesai[64] Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.
Pemilihan umum 2004
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, dimana rakyat akan memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.
Oposisi terhadap pemerintahan SBY
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute.
Kematian
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan strok. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.[65] Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.[66]
Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership. [67]
Wahid ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.[5]
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.[68][69] Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.[68] Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[68]
Tasrif Award-AJI
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.[70] Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu.[71] Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.[71]
Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lembaga pendidikan:
Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)[72]
Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)[72]
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)[72]
Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000) [73]
Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)[72]
Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)[72]
Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)[74]
Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)[72]
Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)

 
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie
Masa Bakti 1998 -- 1999

Bacharuddin Jusuf Habibie (lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936; umur 74 tahun) adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatannya digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999. Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari sebagai wakil presiden, dan 1 tahun dan 5 bulan sebagai presiden, Habibie merupakan Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek.
Keluarga dan pendidikanHabibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Alwi Abdul Jalil Habibie lahir pada tanggal 17 Agustus 1908 di Gorontalo dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo lahir di Yogyakarta 10 November 1911. Ibunda R.A. Tuti Marini Puspowardojo adalah anak seorang spesialis mata di Yogya, dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo bertugas sebagai penilik sekolah. B.J. Habibie adalah salah satu anak dari tujuh orang bersaudara.[1]
B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962, dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.[2]
Ia belajar teknik mesin di Institut Teknologi Bandung tahun 1954. Pada 1955-1965 ia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingineur pada 1960 dan gelar doktor ingineur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.
Pekerjaan dan karier
Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman, sehingga mencapai puncak karier sebagai seorang wakil presiden bidang teknologi. Pada tahun 1973, ia kembali ke Indonesia atas permintaan mantan presiden Suharto.
Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai Maret 1998. Sebelum menjabat Presiden (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999), B.J. Habibie adalah Wakil Presiden (14 Maret 1998 - 21 Mei 1998) dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto.
Ia diangkat menjadi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), pada masa jabatannya sebagai menteri.
Masa Kepresidenan
Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto akibat salah urus di masa orde baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pada era pemerintahannya yang singkat ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia, pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi daerah. Melalui penerapan UU otonomi daerah inilah gejolak disintergrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU otonomi daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian.
Salah satu kesalahan yang dinilai pihak oposisi terbesar adalah setelah menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste), ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak pendapat bagi warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa kepresidenannya, Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada tanggal 30 Agustus 1999. Lepasnya Timor Timur di satu sisi memang disesali oleh sebagian warga negara Indonesia, tapi disisi lain membersihkan nama Indonesia yang sering tercemar oleh tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur.
Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkan Habibie. Upaya ini akhirnya berhasil dilakukan pada Sidang Umum 1999, ia memutuskan tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat negatif, tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan Habibie. Salah pandangan positif itu dikemukan oleh L. Misbah Hidayat Dalam bukunya Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.[3]
Visi, misi dan kepemimpinan presiden Habibie dalam menjalankan agenda reformasi memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan. Pola kepemimpinan Habibie seperti itu dapat dimaklumi mengingat latar belakang pendidikannya sebagai doktor di bidang konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan semangat demokratisasi, Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan yang transparan dan dialogis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan ekonomi yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kegiatan kabinet sehari-haripun, Habibie melakukan perubahan besar. Ia meningkatkan koordinasi dan menghapus egosentisme sekotral antarmenteri. Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah bangsa.[4] Untuk mengatasi persoalan ekonomi, misalnya, ia mengangkat pengusaha menjadi utusan khusus. Dan pengusaha itu sendiri yang menanggung biayanya. Tugas tersebut sangat penting, karena salah satu kelemahan pemerintah adalah kurang menjelaskan keadaan Indonesia yang sesungguhnya pada masyarakat internasional. Sementara itu pers, khususnya pers asing, terkesan hanya mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga tidak seimbang dalam pemberitaan.
Masa Pasca Kepresidenan
Setelah ia turun dari jabatannya sebagai presiden, ia lebih banyak tinggal di Jerman daripada di Indonesia. Tetapi ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia kembali aktif sebagai penasehat presiden untuk mengawal proses demokratisasi di Indonesia lewat organisasi yang didirikannya Habibie Center.
Dibandingkan dengan para mantan presiden sebelum era Susilo Bambang Yudhoyono, Habibie memperoleh nama harum di kalangan generasi muda pasca reformasi. Hal ini disebabkan bahwa ia mungkin adalah satu-satunya presiden dalam sejarah yang memegang negara yang mengalami disintergrasi parah, birokrasi yang bobrok dan militer yang mentalnya rendah tapi berhasil menyelamatkan negara tersebut dan memberi fondasi baru yang kokoh bagi penerusnya. Memang pada masa Habibie Indonesia harus melepas Timor Timur, tetapi ia berhasil mempertahankan wilayah eks Hindia Belanda tetap bersatu dalam Republik Indonesia.
Publikasi
Habibie ketika disumpah menjadi presiden pada tanggal 21 Mei 1998.
Karya Habibie
-Proceedings of the International Symposium on Aeronautical Science and Technology of Indonesia / B. J.  Habibie; B. Laschka [Editors]. Indonesian Aeronautical and Astronautical Institute; Deutsche Gesellschaft für  Luft- und Raumfahrt 1986
-Eine Berechnungsmethode zum Voraussagen des Fortschritts von Rissen unter beliebigen Belastungen und    Vergleiche mit entsprechenden Versuchsergebnissen, Presentasi pada Simposium DGLR di Baden-  Baden,11-13 Oktober 1971
-Beitrag zur Temperaturbeanspruchung der orthotropen Kragscheibe, Disertasi di RWTH Aachen, 1965
-Sophisticated technologies : taking root in developing countries, International journal of technology  management : IJTM. - Geneva-Aeroport : Inderscience Enterprises Ltd, 1990
-Einführung in die finite Elementen Methode,Teil 1, Hamburger Flugzeugbau GmbH, 1968-
-Entwicklung eines Verfahrens zur Bestimmung des Rißfortschritts in Schalenstrukturen, Hamburger  Flugzeugbau GmbH, Messerschmitt-Bölkow-Blohm GmbH, 1970
-Entwicklung eines Berechnungsverfahrens zur Bestimmung der Rißfortschrittsgeschwindigkeit an  Schalenstrukturen aus A1-Legierungen und Titanium, Hamburger Flugzeugbau GmbH, Messerschmitt- Bölkow-Blohm GmbH, 1969
 Detik-detik Yang Menentukan - Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, 2006 (memoir mengenai peristiwa tahun 1998)
Mengenai Habibie
Hosen, Nadirsyah, Indonesian political laws in Habibie Era : Between political struggle and law reform, ,Nordic journal of international law, ISSN 0029-151X, Bd. 72 (2003), 4, hal. 483-518
Rice, Robert Charles, Indonesian approaches to technology policy during the Soeharto era : Habibie, Sumitro and others, Indonesian economic development (1990), hal. 53-66
Makka, Makmur.A, The True Life of HABIBIE Cerita di Balik Kesuksesan, PUSTAKA IMAN, ISBN 978-979-3371-83-2, 2008
Presiden Soeharto
Masa Bakti 1966 - 1998
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno.Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15 milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
Keluarga Soeharto
Ketika itu keluarga Prawirowihardjo, orang tua angkatnya mengutus Mbok Bongkek sebagai pembawa pesan lamaran disertai foto Soeharto yang ketika itu berusia sekitar 26 tahun. Akhirnya, ia resmi menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun dan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojdanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Awal Hidup dan Pendidikan
Pada 8 Juni 1921, Ibu Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh ayahnya, Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki itu diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya bercerai tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena ibunya sakit dan tidak bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari Soeharto kecil untuk berdiri dan berjalan. Soeharto juga sering diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong Soeharto kecil di punggung ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak pernah dilupakan Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi komando pada kerbau saat membajak sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi pemimpin. Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya. Belajar mengaji bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan, karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karier Militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Naik Ke Kekuasaan 
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1996, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971, presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai menampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu [[Kompas]], [[Sinar Harapan]], [[Merdeka]], [[Pelita]], [[The Indonesian Times]], [[Sinar Pagi]], dan [[Pos Sore]]. Beberapa di antaranya minta maaf.
Pada 22 Maret 1978, Soeharto dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Sebagai Presiden
Roma, Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor besar terbesar di dunia menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat. Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. “Tanpa kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk domestic bruto di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam bukunya, Soeharto; Political Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto adalah tokoh yang amat penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember 1989.
Sebab itu, pada 14 September 1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia 76 tahun (39 September 1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi kerusuhan 27 Juli berdarah
Upaya Mengatasai Krisis dan Meredam oposisi
 Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter (29 November 1997).
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.10 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisaksi, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio, televise, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsure pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Cina, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Presiden Soeharto Mengundurkan Diri
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di televisi. Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Di Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali, demikian: Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof Dr Ir BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VI demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof Dr Ing BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang terlalu lama, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya. Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.
Kasus dugaan korupsi
Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana (Jakarta) untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November 1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak awal pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember 1998, Presiden BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos. Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang mencapai 15 miliar dollar AS (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto mengadukan Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[4]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Kasus Perdata Bagian ini membutuhkan pengembangan.
Peninggalan
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.[Mei 2008]
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
Bidang Perekonomian
Meninggal dan Pemakaman
Di tengah upaya membela diri berkaitan dengan kasus penyalahgunaan kekuasaan, Soeharto terkena serangan stroke ringan dan dirawat selama sepuluh hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta pada 20 Juni 1999. Pada 14 Agustus 1999, Soeharto dirawat untuk kedua kalinya di RSPP selama lima hari, karena pendarahan pasa usus. Pada 7 Mei 2006, Soeharto kembali masuk RSPP dan menjalani operasi pembedahan untuk menghentikan pendarahan pada saluran cerna oleh tim dokter terpadu. Soeharto kembali dirawat di RSPP karena kadar hemoglobin rendah, tekanan darah turun, dan ada penimbunan cairan sehingga tubuhnya membengkak. Setelah dirawat 245 hari sejak 4 Januari 2008, Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008 akibat kegagalan multi-organ.
Minggu, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB, 27 Januari 2008[5] di hari ke-24 dirawat di RSPP (Jakarta), mantan Presiden Soeharto dipanggil Sang Khalik. Kepastian kabar wafatnya Soeharto bukan disampaikan oleh keluarga, pengacara, dokter, atau pejabat negara. Kabar itu disampaikan langsung dan pertama kali kepada wartawan oleh Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru Komisaris Dicky Sondani[5] di depan lobi utama RSPP sepuluh menit setelah Soeharto wafat.
Keterangan resmi Soeharto meninggal baru disampaikan Siti Hardiyanti Hastuti Indra Rukmana (Tutut) bersama dua adiknya dan Tim Dokter Kepresidenan pada pukul 13.45 WIB pada hari Minggu tanggal 27 Januari 2008. Suasana di RSPP pada akhir pecan itu sepi. Wartawan yang meliput berita tentang mantan orang kuat di Indonesia itu pun tidak banyak. Sejak dinyatakan Soeharto dalam keadaan kritis, wartawan mulai berdatangan. Di sekitar lobi utama RSPP suasana berubah tegang ketika lima tentara lewat di antara tempat parkir mobil. Semua kameramen televise langsung bergerak ke depan rumah sakit.
Komisaris Dicky Sondani yang datang ke RSPP sekitar pukul 12.30 WIB terlihat mondar-mandir. Sebentar masuk ke dalam rumah sakit, kemudian keluar lagi. Awalnya, puluhan wartawan yang berjaga tidak menghiraukan kehadiran Kapolres Kebayoran Baru, Jakarta tersebut. Para wartawan menganggap bahwa Dicky sedang berjaga-jaga untuk menanti kehadiran pejabat negara. Rasa penasaran wartawan memuncak saat polisi dan tentara semakin banyak yang datang dan Dicky masih mondar-mandir. Ketika Dicky keluar lobi utama, dia berdiri pas di depan pintu, wartawan sepakat bertanya ada apa dengan pengamanan yang ketat itu. Dicky berada di tengah kerumunan wartawan dan kamera televise mengarah ke wajahnya.
Tepat pukul 13.20 WIB, Dicky mengatakan,” Telah berpulang ke Rahmatullah, Haji Muhammad Soeharto pukul 13.10 WIB. Rencanya akan dibawa ke Cendana, tetapi belum tahu pukul berapa.” Berulang kali Dicky harus mengulang kalimat itu karena banyak kameramen dan reporter radio yang belum merekam suaranya. Bahkan, ada yang meminta Dicky bersuara hanya untuk mengatakan jam berapa Soeharto meninggal. Semua orang membutuhkan suara Dicky yang menjadi pemberi informasi pertama untuk publik.
Warga yang ingin berbelasungkawa diizinkan memasuki kediaman keluarga Soeharto pada malamnya. Warga boleh masuk secara berombongan, sekitar 20 orang untuk setiap rombongan. Warga pun memanfaatkan kesempatan itu. Soeharto meninggalkan wasiat kepada keluarga agar dimakamkan di sisi almarhumah Ny Tien Soeharto di Kompleks Astana Giribangun, Solo, Jawa Tengah, sebelum dzuhur, sekitar pukul 12.00 WIB. Jenasah Soeharto diserahkan oleh pihak keluarga yang diwakili Tutut kepada pemerintah pada Senin, 28 Januari 2008 pagi untuk selanjutnya diberangkatkan ke Solo, Jawa Tengah.
Nun di ketinggian 666 meter di atas permukaan laut, Soeharto mendirikan istana terakhirnya. Istana itu bernama Astana Giribangun. Inilah sebuah kompleks makam termuda leluhur dinasti Mataram Imogiri, Yogyakarta. Astana Giribangun terletak di lereng barat Gunung Lawu, persisnya di Kelurahan Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kira-kiranya jaraknya 40 kilometer dari Kota Solo. Giribangun berdampingan dengan Gunung Mangadeg yang memiliki ketinggian 750 meter di atas permukaan laut.
Mengutip buku Panduan Berziarah Astana Giribangun koleksi Perpustakaan Rekso Pustoko Puro Mangkunegaran (Solo), usia Astana Giribangun sebagai salah satu makam leluhur keluarga besar Mangkunegaran adalah kompleks makam termuda dibandingkan kompleks makam lain. Urutannya adalah Makam Mangkunegaran Kartasura di Imogiri Bantul (Yogyakarta), Astana Mangadeg Astana Girilayu, Astana Oetara, Astana Giri, Astana Kablokan, Pesarean Mantenan, Pesarean Karangtengah, Pesarean Randusongo, Pesarean Temuireng, Pesarean Ngendo Kerten, dan Astana Giribangun.
Di belakang atau di sebelah setalan bukit Giribangun mengalir Kali Samin. Di depan pintu kompleks Makam Giribangun yang selalu tertutup terdapat dua pohon jambu mawar yang masing-masing berada di kanan-kiri pintu. Ini memang sebuah tempat yang teduh dan nyaman. Fasilitas kompleks makam juga lengkap, seperti pelereman atau bangunan khusus untuk menginap keluarga Soeharto dan masjid. Pengurus dan pegawai Astana Giribangun juga secara berdedikasi memeliharanya. Kayu jati masih tampak mengkilap, sesekali dipelitur. Makam rajin dipoles, bunga peziarah selalu dibersihkan setiap pagi, dan karpet pun dicuci setiap minggu. Semua siap di makam yang dibangun oleh 700 pekerja tanpa penggunakan traktor dan alat berat lainnya itu. Makam yang terletak sekitar 35 kilometer dari Solo itu dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu jam karena jalan menuju kompleks makam dari Matesih sangat lancar.
Astana Giribangun dibangun oleh Yayasan Mangadeg, sebuah yayasan yang bertujuan membangun dan memperbaiki makam-makam leluhur seperti makam Pangeran Sambernyawa. Soeharto dan Hartinah (Tien Soeharto) masuk sebagai pendiri yayasan yang berdiri pada 28 Oktober 1969 tersebut.
Makam yang dibangun di atas bukit Giribangun diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Acara tersebut ditandai dengan dipindahkannya kerangka jenazah ayah dan ibu Hartinah, KRMTH Soemoharjomo dan KRA Soeharjomo. Karena kompleks makam Astana Mangadeg semakin penuh, pada 27 November 1974, pembangunan Astana Giribangun dimulai. Waktu itu, Gunung Bangun dipotong sekitar 22 meter agar ketinggiannya tidak melebihi Astana Mangadeg. Upacara peresmiannya dilakukan pada 23 Juli 1976.
Bangunan utama makam terdiri atas bagian yang ditandai dengan trap-trap. Bagian pelataran bawah disebut Cungkup Argotuwuh. Siapa pun yang masuk ke area ini harus melepaskan alas kaki. Anggota keluarga Yayasan Mangadeg dapat dimakamkan di area seluas 700 meter persegi ini. Trap selanjutnya adalah Argokembang dengan luas 600 meter persegi. Yang paling puncak adalah Argosari seluar 300 meter persegi.
Di Argosari inilah terletak makam utama keluarga Soeharto, yaitu di ruangan 80 meter persegi dikelilingi gebyok ukiran. Terletak di tingkat teratas dari makam dengan kapasitas 65 badan. Terdiri dari Cungkup Argosari dalam dinding gebyok lima badan, emper Cungkup Argosasi 12 badan, dan selasar Cungkup Argosari 45 badan. Karpet empuk cokelat muda terhampar di rungan ini. Seluruh bangunan didominasi kayu jati; dari kayu untuk atap hingga tiang penyangga.
Pada bangunan utama terdapat empat makam yang sudah lama terisi dan satu petak yang sengaja dikosongkan. Berurutan dari ujung timur terdapat makam kakak tertua Hartinah, Siti Hartini Oudang, kemudian ayah dan ibu Harinah. Di ujung paling barat ada makam Hartinah. Di antara makam itulah, makam Soeharto berada.
Emper Cungkup Argosari direncanakan dipergunakan bagi putra-putri dan menantu, yakni enam pasang badan atau 12 badan. Selasar Cungkup Argosari dicadangkan untuk pengurus Yayasan Mangadeg, yaitu penasihat 10 badan, pengurus harian 14 badan, anggota pengurus/komisaris 14 badan, direksi, dan komisaris 10 badan.
Untuk makam tingkat kedua, yakni Argokembang diperuntukkan bagi para anggota pengurus pleno dan seksi Yayasan Mangadeg dan bukan anggota Yayasan Mangadeg yang oleh pengurus yayasan dianggap banyak memberikan jasa-jasa kepada yayasan. Argokembang berkapasitas 58 pasang atau 116 badan. Tingkat terakhir adalah Argotuwuh. Tingkat ini diperuntukkan bagi para pengurus pleno dan anggota seksi yayasan. Di samping itu, untuk keluarga besar Yayasan Mangadeg, bukan anggota pengurus yayasan yang dianggap banyak memberikan jasa-jasa kepada yayasan. Akomodasi ini berkapasitas 78 pasang atau 156 calon badan.
Wafat Soeharto
Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta[6]. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIB[7] menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.15 WIB[8] bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.