Senin, 21 Maret 2011

A CHINESE LEGEND

Legenda ini pernah diceritakan oleh temen saya beberapa waktu yang lalu. Karena amat menyukainya, saya minta ia menerjemahkannya secara lisan kalimat per kalimat agar saya dapat menyadurkannya dalam bahasa Indonesia. Ceritanya berawal dari cinta romantis tapi memilukan, diselingi misteri, dan berakhir dengan menyeramkan. Kalau difilmkan, saya yakin baik Sasha maupun Heidi bisa menyukainya, karena filmnya termasuk genre romantis sekaligus menyeramkan. Tapi yang saya amat sukai dan terkesan adalah karakter dari pemeran utama cerita ini, Su Jichen, yang mengorbankan nafsu dan keinginannya demi untuk mematuhi tata krama. Dia anak orang kaya, tapi dia tetap mempertahankan mempunyai seorang isteri saja walaupun dia amat mencintai seorang wanita lainnya. Padahal dimasa itu, mempunyai lebih dari seorang isteri adalah lumrah.
by Kenji / August 4, 2010

Tempat dan waktu kejadian: Shanghai 1950

Gui Guzi (鬼谷子) adalah seoarang peramal yang amat terkenal di Shanghai. Saking banyaknya pelanggan2nya, terpaksa ia buka praktek pada pagi, siang dan malam hari tetapi hanya pada jam2 tertentu. Untuk yang malam hari, waktu cut-off adalah jam 9 malam. Jadi begitu sampai jam 9 malam, yang belum sempat bertemu dengannya terpaksa pulang dan datang lagi keesokan harinya.

Malam itu, seperti biasanya, begitu sampai jam 9 malam ia langsung melepaskan kaca matanya dan berteriak kepada pembantunya untuk menutup pintu. Tapi kali ini pembantunya bergegas masuk dan memberitahukan bahwa ada seorang tamu ngotot tidak mau pergi. Belum sempat menanyakan lebih lanjut, tiba2 pintu terbuka dan seorang pemuda berusia sekitar 30-an masuk, membungkukkan badannya dan berkata: “Tuan Gui, saya datang dari tempat jauh dan ada urusan amat mendesak memerlukan bantuan anda. Harap dapat kiranya diberikan pengecualian sekali ini saja.”
Karena tamunya amat sopan, Gui Guzi pun mempersilahkan ia duduk dan menyuruh pembantunya keluar untuk menutup pintu. Ternyata tamunya itu bermuka tampan. Hanya mukanya agak pucat dan sinar matanya sayu. “Biasanya mata yang tidak bersinar nasibnya kurang baik”, demikian Gui Guzi bertutur dalam hati. Selanjutnya Gui Guzi mulai bertanya kepada tamunya itu:

“Nama anda?”
“Marga Su (蘇) nama Jichen (寄塵).”
“Apa yang ingin diramal?”
“Nasib saya secara keseluruhan.”
“Baik. Kalau begitu tolong beritahukan tanggal dan jam kelahiran anda.”
Su Jichen pun memberitahukan kepada Gui Guzi tanggal dan jam kelahirannya.
“Oh, rupanya shio sapi”. Sambil berbicara Gui Guzi mulai mendekati dan menatap wajah Su Jichen dengan seksama.
“Tolong julurkan tangan kirimu.”
Setelah Su Jichen menjulurkan tangan kirinya, Gui Guzi pun mulai memegang telapak tangan kiri Su Jichen memperhatikan guratan2 telapak tangannya. Setelah melihat agak lama, Gui Guzi pun berkata: “Apa boleh saya berbicara blak2an?”
Sambil mengangguk Su Jichen menjawab: “Ya, harap diurai dengan mendetail. Yang jelek2 pun tak perlu di-tutup2i.”
Dan mulailah Gui Guzi menuturkan riwayat dan nasib Su Jichen.
Su Jichen lahir di Ningbo. Berasal dari keluarga kaya raya dan merupakan yang buncit dari empat bersaudara. Ketika ia berumur 15 tahun, kakak sulungnya mendapat jabatan penting di Shanghai sehingga sekeluargapun berpindah kesana.

Ketika ia berumur 20 tahun, pada suatu hari ia bersama teman2 sekolahnya melewati Xiafei Street (霞飛路) dan dari arah depan berpapasan dengan segerombolan murid2 perempuan. Seketika itu juga Su Jichen terhentak melihat diantaranya ada seorang cewek yang amat cantik. Mukanya berbentuk kwaci, matanya besar dan bersinar, mulutnya kecil, sama sekali tidak berdandan tetapi amat cantik. Secara kebetulan, cewek itu juga melihat kearah dia, tapi langsung menunduk malu dan berlalu bersama teman2nya.

Malam itu Su Jichen susah tidur karena terus memikirkan muka cewek yang dilihatnya pada siang hari. Keesokan harinya diapun menjadi uring2an dan tidak bersemangat. Sejak itu dia berubah dari seorang anak yang periang menjadi seorang anak yang pendiam. Beberapa kali dia bolak-balik di Xiafei Street sampai larut malam dengan harapan bisa ketemu cewek itu, tapi hasilnya selalu nihil. Dalam hati kecil sebenarnya dia juga tahu, seandainya ketemupun dia tidak akan punya keberanian menyapa cewek itu. Tapi ya begitulah. Asal bisa bertemu saja rasanya sudah amat berbahagia.

XXXXXX

Mulut Su Jichen melongo mendengar Gui Guzi menuturkan masa lalunya dengan demikian mendetail.

“Tuan Gui, anda bener2 hebat!”
“Tidak ada yang salah kan dari penuturanku?”
“Sama sekali tidak. Memang saya bertemu dengannya di Xiafei Street pada saat saya berusia 20 tahun. Dan setelah itu pikiran saya amat menyiksa.”
“Guratan tanganmu yang ini menentukan kamu pada umur 20 tahun harus mengalami siksaan batin karena cinta, dan siksaan batin itu berlanjut.” Sambil menunjukan suatu guratan ditelapak tangan Su Jichen, Gui Guzi melanjutkan ramalannya.
Beberapa kali Su Jichen berusaha melupakan gadis itu. Dalam hati dia berkata: “Dia cuma bertemu sekali dengan saya. Apakah dia masih ingat saya sekalipun nanti bertemu? Kalau cewek yang cantik begitu pasti banyak cowok yang mengejar, jangan2 dia juga sudah punya pacar.” Walaupun akal sehatnya menyuruh dia melupakan gadis itu, tapi emosi hatinya tidak mampu melakukannya. “Oh, Tuhan! Kenapa harus ada pertemuan di Xiafei Street itu? Kalau tidak ada, kan saya tidak tersiksa begini?” Beberapa kali dia berteriak sendiri disaat yang sepi, tapi tetap saja luka dihatinya tidak terobati.

Sejak itu setahun telah berlalu. Entah karena Tuhan terharu juga dengan teriakan Su Jichen, mereka bertemu untuk kedua kalinya pada suatu hari. Saat itu adalah musim dingin dan malam hari. Su Jichen sehabis dari luar bergegas pulang kerumah karena udara dingin. Untuk mengambil jalan pintas, dia masuk kesebuah lorong tapi mendadak matanya terbeliak melihat diujung lorong sana cewek yang dia impikan siang malam, dengan syal putih meliliti lehernya, tampak berjalan dengan seorang yang tampaknya seperti ibunya. Cewek itu kembali menatapnya, menghentikan langkahnya tapi sejenak kemudian ditarik pergi oleh ibunya. Pas disaat itu, sebuah kereta rickshaw (becak tanpa sepeda yang ditarik dengan manusia) masuk kelorong itu dari lorong yang lain lantas menghalangi pandangannya. Setelah rickshawnya berlalu, Su Jichen berlari kearah tempat cewek itu tadi berada tetapi ceweknya sudah hilang. 
Setelah kejadian ini, hati Su Jichen makin hancur. Dia sebenarnya ingin berteriak memanggil cewek itu ketika melihat cewek itu menghentikan langkahnya. Tapi karena disampingnya ada ibunya sehingga mengurungkan niatnya karena merasa tidak sopan. Tapi dengan demikian, hilanglah kesempatan untuk berkenalan denga cewek itu. Beberapa malam dia tidak bisa tidur. Terus menerus mengenangkan tatapan mata cewek itu. “Dia sampai menghentikan langkahnya, berarti dia juga suka sama saya. Dia berjalan sama ibunya, berarti dia belum punya cowok. Tapi dimana mencarinya? Dimana?” Setiap hari dia menggumam sendiri, menyesalkan kenapa tidak memanggil cewek itu pada saat itu. “Shanghai kan kota besar, bisa2 seumur hidup saya tidak bertemu lagi dengannya.” Tambah pikir tambah kesal, tapi selain pasrah apa yang bisa dilakukannya?


XXXXXX

Mata Su Jichen mulai ber-kaca2 mendengar penuturan siperamal Gui Guzi.

“Tuan Gui, anda benar2 luar biasa. Semua yang kualami dapat dituturkan dengan tanpa kesalahan sedikitpun. Saya amat tersiksa. Saya tersiksa terus. Kalau waktu itu saya mengenal anda, mungkin anda dapat membantu saya.”
“Itu sudah takdir. Saya tidak bisa berbuat apa2 juga. Nah, kalau melihat guratan ini, anda masih bertemu dengan dia untuk ketiga kalinya.”.
Tak terasa musim dingin telah beralih ke musim semi lalu ke musim panas. Hari itu, hujan turun dengan deras dan Su Jichen keluar dari sebuah toko buku sambil menjinjing payung. Pada saat hujan deras begini, payung sebenarnya tidak terlalu berguna. Baju dan celana Su Jichen tetap basah. Mendadak ia merasakan ada percikan air menghempas kearahnya dan dengan serta-merta muka dan sekujur tubuhnyapun menjadi bertambah basah kuyup. Baru mengangkat kepala mau menegur orang yang menyebabkan percikan air itu, dia melihat sebuah rickshaw baru saja melintas disampingnya dan di rickshaw tersebut duduk 2 orang cewek. Salah seorangnya membalikkan mukanya memandang kearahnya dengan raut muka minta maaf. Sinar matanya demikian lembut. Siapa lagi kalau bukan cewek yang dia rindukan siang malam itu.

Seketika itu juga, dia berlari mengejar rickshaw itu dengan se-kencang2nya. Tapi apa mau dikata, kakinya tersandung sebuah batu dan dia jatuh terjerambab dijalan. Mukanya menghantam tanah dan darahpun mengalir keluar dari keningnya seketika itu juga. Tanpa memperdulikan darah dan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya, dia bangun dan segera berlari mengejar rickshaw itu tapi rickshaw tersebut sudah berada jauh didepan.

Su Jichen masih mati2an mengejar. Tapi apa lacur, dia terpeleset dijalan yang licin dan kembali jatuh. Dan ketika dia bangun kembali, rickshaw sudah menghilang dari pandangan matanya. Seketika itu juga dia merasa matanya gelap. Kepalanya menengadah keatas. Cucuran air matanya tak kalah deras dengan curahan hujan. Dia berdiri bengong dijalan tanpa memperdulikan rickshaw yang berlalu lalang dijalan tersebut sampai akhirnya seorang kakek menariknya kepinggir jalan.

Sambil menuturkan kejadian pertemuan ketiga itu, Gui Guzi meng-geleng2kan kepalanya.

Dengan sedikit terisak Su Jichen bertanya: “Apa dikehidupan sebelum ini saya telah membuat dosa yang amat besar sehingga dikehidupan yang sekarang ini saya harus menanggung siksaan demi siksaan?”
“Saya tidak bisa meramal kehidupanmu yang lalu. Redakanlah kesedihanmu. Sancai, sancai (Allah maha pengasih).”
“Setelah itu anda pasti juga tau kelanjutannya kan?”
Gui Guzi melanjutkan pemeriksaan guratan telapak tangannya.

XXXXXX

Su Jichen sudah melupakan sekolahnya. Mengaku pergi kesekolah kepada orang tuanya, padahal setiap hari dia bolos mencari cewek itu. Susahnya dia tidak tau cewek tersebut bernama apa, sehingga tidak tau bagaimana menanyakan ke orang2. Mengira cewek tersebut tinggal didaerah dimana mereka bertemu kedua kalinya, Su Jichen sudah melewati semua lorong2 disekitar itu entah berapa ratus kali. Tetapi tetap saja hasilnya nihil.

Takut ketahuan terlalu banyak bolos, diapun mulai balik kesekolahnya tapi dalam 1 minggu paling tidak dia bolos 1-2 hari. Demikianlah hari demi hari berlalu tapi cewek itu seperti menguap dari bumi ini.
Menjalani hidup yang hampa ber-tahun2, Su Jichen pun akhirnya sudah menyelesaikan kuliahnya pada saat berusia 24 tahun. Dia sekarang sudah berusia 25 tahun. Pada masa itu, cowok2 umumnya sudah menikah pada usia 25 tahun. Sebenarnya sejak dia tammat kuliahpun orang tuanya sudah mendesak dia nikah, tapi dengan bermacam dalih dia menolaknya. Dia sebenarnya juga pernah menyampaikan keibunya soal cewek idamannya itu, tapi dizaman itu keluarga kaya harus mendapatkan pasangan dari keluarga kaya pula. Makanya ibunya tidak setuju sembarangan mencari pasangan dari keluarga tidak dikenal apalagi cewek itu keberadaannya tidak diketahui.

Setelah 3 ½ tahun mencari tanpa hasil, Su Jichen mulai patah arang. Ditambah setahun terakhir ini didesak terus oleh orang tuanya, akhirnya pada suatu hari dia setuju pergi bersama ibunya melihat calon pengantin yang diperkenalkan oleh mak comblang. Cewek yang diperkenalkan ini bernama Xiuyi (秀宜), mukanya juga cantik pinggangnya juga kecil dan kulitnyapun putih mulus. Cuma sayangnya dihati Su Jichen sudah kepalang terisi cewek yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu, maka diapun tidak menyukainya. Tapi sebaliknya ibunya naksir berat terhadap Xiuyi ini.

Sampai 3 bulan setelah pulang dari rumah Xiuyi, Su Jichen tetap bertahan tidak mau menikahi Xiuyi. Tapi akhirnya ayahnyapun mulai angkat bicara dan diapun mulai berpikir. Pertama dia sudah mencari cewek idamannya selama 3 ½ tahun. Segala pelosok Shanghai sudah dijelajahi. Karena tetap tidak ketemu juga, apa cewek tersebut telah pindah kekota lain? Kedua, membangkang terus terhadap orang tua akan dicap sebagai anak tidak berbakti. Maka akhirnya, dengan berat hati diapun menyetujui menikahi Xiuyi.

Bagaimana kehidupan Su Jichen setelah menikah dengan Xiuyi? Hilang kemana cewek yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu? Hal yang menyeramkan mulai menghampiri.
Masih 2 minggu lagi dan tanggal pernikahanpun akan tiba. Setiap hari Su Jichen masih mengharapkan dapat bertemu dengan cewek idamannya. Seandainya bisa bertemu, dia akan membatalkan pernikahan itu entah dengan cara kabur dari rumah atau apa. Tapi sayang cewek idamannya tetap tidak muncul dan hari pernikahanpun tiba.

Pesta diadakan secara besar2an dan meriah. Maklum keluarga Su Jichen adalah keluarga yang kaya raya. Kedua orang tua Su Jichen ber-seri2 sejak pagi, tapi Su Jichen sendiri sepanjang hari tampak cemberut dan dingin.

Tibalah malam hari berduaan dengan Xiuyi dikamar pengantin. Setelah berdua berdiam lama, Su Jichen memulai pembicaraan:

“Xiuyi, saya harus berkata jujur kepadamu, bahwa sebenarnya saya tidak mencintaimu dan pernikahan ini hanya karena saya tidak enak menolak permintaan orang tua saya.”
“Sebenarnya dari waktu pertama kali kita bertemu aku juga sudah tahu. Kamu sekalipun tidak pernah mau memandang kepadaku.”
“Kalau begitu kenapa kamu mau menikah dengan saya?”
“Karena aku menyukaimu dan aku juga tidak dapat menolak kemauan orang tuaku.”
“Orang tua! Orang tua! Kenapa sih pernikahan harus diatur oleh orang tua?”
Xiuyi tidak menjawab. Dia hanya menundukkan muka.
“Itu kan sangat tidak adil. Kita tidak boleh memilih orang yang kita sukai!”
“Aku tahu kamu pasti mencintai cewek yang lain. Tapi kenapa tidak berjuang mendapatkannya?”
“Mendapatkannya? Dia ada dimana saja saya tidak tahu.”
Lalu Su Jichen menceritakan kisah tentang cewek idamannya dari awal sampai akhir.
Xiuyi menangis ter-sedu2. Entah kasihan kepada Su Jichen atau meratapi nasibnya sendiri memperoleh suami yang tidak mencintainya.
Dengan ter-isak2 dia berkata: “Aku tidak berkeberatan diceraikan. Tidak apa2 aku diusir kembali kerumah orang tuaku.”
“Ai..” Su Jichen menghela napas: “Keluargaku adalah keluarga terpandang. Ayahku tak akan mengizinkan hal itu. Lagipula ini sama sekali bukan salahmu. Saya juga tidak mungkin mau melakukan itu.”
Xiuyi terharu mendengar jawaban dari Su Jichen. Secara refleks dia menjatuhkan badannya kepundak Su Jichen, tapi ditahan oleh kedua tangan Su Jichen.
“Maaf, Xiuyi. Hati saya belum bisa menerima kamu. Saya mohon untuk sementara kita jangan bersentuhan dulu, tapi didepan orang tuaku tolong kita bertindak se-olah2 layaknya suami isteri.”
Xiuyi meng-angguk2 sambil berlinangan air mata. Dan malam itu kedua mempelai nyaris tidak tidur sama sekali.

Sejak itu, mereka berdua menjalankan hidup sebagai suami-isteri semu. Didepan orang tua kelihatan mesra, tetapi dikamar tidur sama sekali tidak bersentuhan.

Namun orang tua Su Jichen sangat menyayangi menantu ini. Xiuyi selalu bangun pagi2, menyiapkan makanan dan melayani kedua orang tua tersebut dengan amat telaten. Sang Ibu malah kadang2 menegor Su Jichen karena dia sering kelihatan acuh tak acuh terhadap Xiuyi.
Persoalan mulai timbul ditahun kedua. Kedua orang tua heran kenapa Xiuyi tidak kunjung hamil. Karenanya mereka disuruh mencari tabib untuk mengetahui penyebabnya. Su Jichen pusing tujuh keliling. Rahasianya segera akan terungkap. Terpaksa dia mengutarakan kepada Xiuyi bahwa walaupun tidak mencintainya, dia harus menghamilinya karena kalau tidak, rahasia mereka selama ini akan terbongkar.

Xiuyi malah senang mendengar ini dan tidak lama setelah itu diapun mengandung. Tak disangka dengan semakin bertambah umur kandungannya, Su Jichen jadi semakin menyayanginya dan mereka akhirnya menjadi suami-isteri yang sebenarnya. Dan setelah 9 bulan lahirlah seorang bayi laki2 yang montok.

(Sebenarnya dari sini saya bisa switch ceritanya jadi happy-ending, dengan melanjutkan ceritanya menjadi Su Jichen dan Xiuyi berpesiar setelah melahirkan lalu diselingi dengan adegan2 romantis dari keduanya. Tapi saya berpikir kembali. Yang Sasha mau kan kisah romantis antara Su Jichen dengan cewek idamannya yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu, bukan kisah romantis antara Su Jichen dengan Xiuyi. Jadi saya teruskan ceritanya seperti apa adanya aja deh)

Saking sayangnya Su Jichen terhadap isterinya, dia menganjurkan agar dicari seorang baby-sitter untuk mengurus anak mereka. Xiuyi amat senang. Kebetulan ada seorang temen baiknya yang bersedia menjadi baby-sitter. Jadi diputuskan agar memanggil temennya itu saja kerumah mereka.

Pada hari yang telah ditentukan, temennya Xiuyi datang dan Xiuyi pun membawa temennya menemui Su Jichen. Tapi betapa kagetnya Su Jichen ketika melihat mukanya si baby-sitter itu. Itu adalah cewek yang dia rindukan siang malam dan entah hilang kemana selama ini. Yang beda cuma dandanannya. Kalau dulu dia seorang murid sekolah, sekarang dandanannya menjadi seperti seorang pembantu. Tapi mukanya tetap cantik sekali dan sinar matanya tetap begitu lembut walaupun terbeliak kaget ketika melihat Su Jichen.

“Apakah kalian kenal?” Xiuyi bertanya karena melihat mereka kaget ketika bertemu.
“Ya, dia pernah bantu menjaga bibi saya beberapa minggu ketika bibi saya sakit.” Entah kenapa, Su Jichen yang biasanya tidak bisa berbohong mendadak jadi pintar.
“Oh, rupanya Cuifeng (翠鳳) adalah temen kamu juga. Baguslah kalau begitu. Tidak perlu repot2 saya memperkenalkan lagi.” Xiuyi ber-seri2 dan sedikitpun tidak menaruh curiga.

Selanjutnya Xiuyi pun membawa Cuifeng kekamar bayinya dan mengobrol lama disitu meninggalkan Su Jichen yang melongo sendirian.

XXXXXX

Su Jichen ingin berbicara empat mata dengan Cuifeng karena terlalu banyak yang ingin ditanyakan.. Selain itu rasa kangennya juga kambuh kembali. Tapi susahnya Cuifeng kebanyakan ada dikamar bayi dan jarang mau keluar. Sekali2 kepergok dia ada diluar kamar tapi begitu melihat Su Jichen, dia buru2 langsung masuk kekamarnya lagi.

Tiga hari telah berlalu dan tidak sekalipun Su Jichen berkesempatan berbicara dengan Cuifeng. Malamnya dia bolak-balik tak bisa tidur memikirkan bagaimana caranya agar bisa berbicara empat mata dengan Cuifeng. Akhirnya dia pikir kalau siang hari pasti tidak mungkin karena dirumahnya banyak sekali orang berlalu-lalang. Selain kedua orang tuanya masih ada kakak2 beserta isteri2 mereka. Belum lagi pembantu2 rumah tangga. Jadi kalau berbicara disiang hari pasti akan kepergok. Satu2nya cara adalah dengan nekat pada tengah malam begini menerobos kekamar bayi. Melihat isterinya sudah tidur, diapun diam2 turun dari ranjang meninggalkan kamarnya menuju kekamar bayi. Tapi dia tidak tahu sebenarnya isterinya juga belum tidur. Xiuyi heran kenapa Su Jichen malam2 meninggalkan kamar karena selama ini belum pernah dilakukannya. Jadi diapun dengan meng-endap2 mengikuti Su Jichen.
Xiuyi kaget karena ternyata Su Jichen menuju kekamar bayi. Terlihat dia mulai mengetok-ngetok pintu kamar dengan ringan. Tidak lama kemudian terdengar suara Cuifeng: “Xiuyi, apakah kamu itu?”
“Bukan, Cuifeng. Ini aku. Banyak hal yang ingin kutanyakan. Izinkanlah aku masuk.”
“Hah!” terdengar suara kaget dari Cuifeng: “Jangan, tuan muda. Nanti saya berdosa.”
“Aku cuma minta pertemuan dan pembicaraan empat mata sekali ini saja, karena terlalu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Disiang hari hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena terlalu banyak orang yang lalu lalang, jadi terpaksa saya datang malam2 begini. Mumpung Xiuyi sudah tidur.”
“Oh jangan, tuan muda. Saya tidak boleh membelakangi Xiuyi bertemu dengan tuan muda.”

Mendadak pintu kamar dibuka oleh Su Jichen. Pintu kamar itu memang kuncinya sengaja dicopotkan oleh Xiuyi agar dia se-waktu2 dapat masuk kekamar menemui bayinya.
“Maaf, Cuifeng. Saya tak ada jalan lain selain dengan lancang masuk kemari malam ini.”
Cuifeng mengerutkan tubuhnya ditempat tidur. Rambutnya awut2an dan bajunya sedikit acak2an karena dia tidak sempat merapikannya. Matanya terlihat sedikit ber-kaca2 dan terlihat dia menggigit bibir bagian bawahnya. Perasaan Su Jichen makin tidak keruan karena dalam keadaan begini Cuifeng makin terlihat cantik.
Takut tak dapat mengontrol dirinya, Su Jichen menundukkan mukanya dan berjalan kearah meja yang terletak ditengah kamar itu dan duduk.
“Cuifeng, selama 6 tahun lebih aku menderita karena kamu. Anggaplah ini belas kasihan dari kamu atas penderitaanku selama ini dan duduklah disini menjawab pertanyaan2ku.”

Per-lahan2 Cuifeng turun dari tempat tidur, merapikan baju dan rambutnya lalu duduk semeja dengan Su Jichen.
“Tuan muda, maafkan aku.”
“Jangan panggil tuan muda. Panggil saya Jichen”
“Aku tidak enak.”
“Sudahlah. Nasib kita berdua sudah demikian jelek. Jangan sampai tidak memanggil aku Jichen lagi.”
“Oh…Baiklah Jichen” mata Cuifeng makin ber-kaca2.
“Waktu kita berdua bertemu pertama dan kedua kali sih saya maklum. Saya tidak sempat bereaksi apa2. Tapi waktu ketiga kali itu kamu membalikkan muka dan melihat saya lagi mengejar, kok tidak suruh sipenarik rickshaw itu berhenti?”
“Aku melihat kamu jatuh, Jichen! Aku langsung menyuruh sipenarik rickshaw berhenti. Tapi Xiuyi tanya aku kenapa?”
“Hah! Jadi yang duduk disamping kamu itu Xiuyi?”

Air mata Cuifeng mulai mengalir. “Iya. Aku malu terhadap Xiuyi. Masak aku suruh sipenarik rickshaw berhenti hanya karena seorang laki2 yang aku kenal saja belum? Jadi akhirnya aku suruh diteruskan lagi perjalanannya. Tapi kok habis itu kita tidak bertemu lagi? Kenapa?”
“Kenapa? Kenapa? Ini seharusnya saya yang tanya. Karena sehabis itu selama bertahun-tahun saya mencarimu sampai kesegala pelosok Shanghai tapi tidak ketemu.”

Cuifeng tak sanggup menahan perasaan lagi. Air matanya bercucuran deras. Ia meng-geleng2kan kepalanya. Lalu dengan sebentar2 melap air matanya ia menceritakan derita hidupnya:

“Ayahku telah meninggal sejak aku masih kecil. Ibu yang dengan susah payah membesarkanku. Kami tidak mempunyai famili lain di Shanghai. Ibu mencari nafkah dengan berjualan dipasar. Hidup kami amat pas2an. Kadang2 kami berdua hanya makan sekali dalam sehari. Oleh sebab itu, waktu ada temen ibu dari Hangzhou datang kemari, dan itu adalah kira2 1 tahun sejak pertemuan kita yang ketiga, dan mengatakan ada keluarga kaya di Hangzhou ingin mencari menantu yang cantik, Ibu langsung mengiyakan. Aku menangis dan me-ronta2. Tapi Ibu juga menangis dan malah berlutut dihadapanku, dan mengatakan dia sudah tidak sanggup lagi menahan derita hidup. Habis aku mau bagaimana lagi? Semua terjadi dengan demikian cepat. Keesokan harinya juga langsung aku dan ibu dijempat ke Hangzhou.”

“Tuhan sungguh kejam,” Su Jichen menimpali sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.: “Didunia ini memang tidak ada keadilan!” Dengan ter-sedu2 Cuifeng kembali melanjutkan penuturannya:

“Suami saya itu pendek dan gemuk. 1-2 tahun setelah menikah sih orangnya masih baik. Ibuku ditempatkan disebuah rumah kecil dan aku bebas mengunjunginya. Tetapi setelah aku melahirkan seorang bayi perempuan, dia dan kedua mertuaku mulai tidak suka terhadapku. Aku dilarang keluar rumah sekalipun untuk menemui ibuku. Sebaliknya dia setiap malam kalau bukan pergi berjudi pasti pergi minum. Aku tidak boleh tidur dan harus menunggunya pulang. Kalau lagi mabuk, kadang2 aku dipukuli. Belakangan dia kawin lagi dengan seorang cewek lain dan aku dan anakku disuruh pindah dan tinggal bersama ibuku dirumah kecil itu. Belakangan karena sering kalah judi, keadaan ekonominyapun mulai payah. Tunjangan hidup untuk aku, anakku dan ibuku semakin lama semakin sedikit . Sebenarnya semenjak dipindahkan kerumah kecil itu aku ingin kerja di kantor2 tapi tidak diperbolehkan. Belakangan terdengar kabar bahwa rumah kecil yang kami tempati bertiga itu mau dijual dan akupun menjadi gugup. Teringat bahwa aku masih mempunyai seorang teman baik di Shanghai, maka akupun menulis surat kepada Xiuyi menanyakan apa dia bisa membantuku mengatasi keadaan darurat ini. Aku sangat senang dan lega ketika dibalasan surat Xiuyi mengatakan dia sudah menikah dengan seorang pemuda tampan, kaya dan berpengaruh di Shanghai dan baru melahirkan seorang bayi laki2. Dia minta aku menjadi baby sitternya dan suruh aku, anakku dan ibuku segera minggat saja dari Hangzhou. Kalau seandainya nanti suamiku berani coba2 cari perkara, dia akan minta keluarga suaminya menghadapinya.”

“Jadi, karena itulah aku sampai kerumah ini tapi betapa kagetnya aku ketika tahu ternyata suami Xiuyi adalah kamu. Aku tahu aku tak boleh ber-lama2 disini karena nanti bisa menimbulkan prasangka yang tidak baik dari Xiuyi kepada kamu. Cuma sekarang aku masih bingung kalau keluar dari sini aku mau kerja dimana dan bagaimana menjelaskannya kepada Xiuyi.”

“Sudahlah, Cuifeng. Jangan pikir macam2 dulu. Terima kasih kamu telah mau menjelaskan semuanya kepadaku. Aku permisi dulu”.

Su Jichen keluar dari kamar Cuifeng tapi tidak langsung kekamarnya. Dia pergi ketaman belakang yang berjauhan dari kamar2. Disana dia menangis habis2an meratapi nasib antara dia dengan Cuifeng. Waktu dikamar Cuifeng dia mati2an menahan kesedihannya karena dia tahu kalau dia menangis disitu nanti Cuifeng jadi semakin sedih lagi.

Entah berapa lama dia berada ditaman itu. Lalu diapun kembali kekamarnya. Xiuyi ternyata masih tidur nyenyak ditempat tidur. Tapi dia tidak tahu sebenarnya isterinya terus mengikutinya semenjak dia keluar dari kamar dan buru2 kembali kekamar pura2 tidur sebelum dia balik kekamar.

Keesokan harinya, hati Su Jichen terasa gundah gulana. Ter-bayang2 bagaimana semalam Cuifeng menceritakan penderitaannya sambil menangis ter-sedu2. Ingin sekali dia mem-belai2 dan bahkan memeluknya, tetapi tidak pantas karena dia sekarang sudah menjadi suaminya Xiuyi. Teringat kembali 3 pertemuan terdahulu itu, dia semakin ingin merangkul Cuifeng dan menangis se-puas2nya untuk melepaskan rindu. Tapi hal tersebut tak akan pernah terjadi untuk se-lama2nya.

Karena amat risau, dia pergi ke kelenteng yang tidak jauh dari rumahnya. Keluarganya sering memberikan sumbangan kepada kelenteng tersebut. Oleh sebab itu ketua kelenteng sampai menyiapkan sebuah kamar khusus untuk keluarga Su. Su Jichen bersamedhi dikamar tersebut untuk menenangkan pikirannya dan menghilangkan kegundahannya. Sayup2 terdengar suara doa para pendeta, sampai timbul pikiran Su Jichen ingin membuang rambut dan menjadi pendeta saja. Tak terasa 2-3 jam pun berlalu.

Mendadak seorang pendeta bergegas lari menuju kekamarnya: “Tuan Su, tidak tahu apa yang terjadi dirumah anda. Saya barusan melewati rumah anda sebelum balik ke kelenteng. Banyak suara gaduh dan pembantu2 dan anggota2 keluargamu tampak berlari kesana kemari.”

Dengan spontan Su Jichen lari kerumahnya. Begitu masuk kerumah, dia mendengar suara tangis disana-sini. Seorang pembantu menuntunnya kekamar tidurnya. Terlihat Xiuyi terbaring kaku ditempat tidur dan di-langit2 ada ikatan tali. Ibunya menangis sedu-sedan disamping mayat isterinya dan banyak anggota keluarga berkumpul disitu. Ini benar2 seperti halilintar disiang bolong. Kok hal demikian bisa terjadi? Kakak sulungnya menggandengnya kesebuah meja. Disana terletak 2 surat dengan tulisan tangan Xiuyi. Satu ditujukan kepadanya dan satu ditujukan kepada orang tuanya. Segera Su Jichen menyambar surat yang ditujukan kepadanya. Demikianlah isi surat tersebut:

Jichen, semalam sebenarnya aku mengikutimu sepanjang malam. Dari samping jendela aku melihat dan mendengar semua percakapanmu dengan Cuifeng. Aku baru tahu cewek yang di-idam2kan olehmu ternyata adalah Cuifeng. Kalau itu hari aku tidak menegur Cuifeng kenapa menghentikan kereta, kalian berdua sekarang sudah menjadi sepasang suami-isteri yang berbahagia. Karena akulah nasib Cuifeng menjadi tragis begini dan dirimu pun tersiksa batinnya. Sebenarnya aku ingin sekali kamu menikahi Cuifeng dan kita hidup bertiga, tapi aku juga tahu hal tersebut tidak akan terjadi karena keluarga Su tidak dapat menerima menantu dari keluarga tidak terpandang. Aku memilih mengakhiri hidup ini karena:

1. Aku merasa berdosa kepada Cuifeng karena akulah yang mengakibatkan hidupnya jadi terlunta-lunta padahal dia teman baikku.
2. Aku memohon kepada kedua orang tuamu dengan nyawaku agar mereka mau menerima Cuifeng sebagai isterimu. Aku yakin dia dapat merawat anak kita dengan baik.

Walaupun masa pernikahan kita amat singkat, aku sangat menikmatinya dan sudah merasa puas. Maaf aku pamit dulu.
Mendadak 2 pembantu rumah tangga lari masuk kekamar. “Tolong, tolong! Si baby sitter terkapar dilantai. Mulutnya mengeluarkan busa.”

Su Jichen kaget sekali. Tapi tangannya digenggam oleh kakak sulungnya. Terdengar ibunya membentak kedua pembantu tersebut: “Pergi dari sini! Apakah kalian tidak lihat keadaan nyonya muda disini? Kalau si baby sitter, apa urusannya dengan keluarga kami?”

Kakak sulungnya berbisik kepada Su Jichen: “Ibu sudah membaca surat Xiuyi dan dia tetap tidak setuju kamu menikahi Cuifeng. Jadi kamu jangan peduli Cuifeng.”

Tapi Su Jichen tidak perduli. Dia menghentakkan dan melepaskan tangannya dari genggaman kakak sulungnya dan secepat kilat berlari kekamar Cuifeng. Terlihat Cuifeng terbaring dilantai. Mulutnya mengeluarkan busa, hidungnya mengeluarkan darah. Diatas meja ada sebotol racun tikus.

Buru2 Su Jichen menghampiri Cuifeng. Mulut Cuifeng ber-gerak2 seperti mau mengucapkan sesuatu. Su Jichen mendekatkan telinganya kemulut Cuifeng. Sayup2 tercium bau darah dari mulut Cuifeng dan terdengar suara lemah keluar dari mulutnya: “Jichen, Xiuyi bunuh diri karena aku. Mana aku dapat menerima kenyataan ini. Aku mau menyusulnya. Jagalah anakmu dengan baik dan kalau boleh, tolong menjaga ibuku dan anakku juga. Mereka ada di…. alamatnya ada tertulis disurat diatas meja.”

XXXXXX

Gui Guzi menengguk secangkir teh. Dia haus setelah berbicara terlalu lama kali ini. Kembali dia melihat telapak tangan Su Jichen. Mendadak dia terhentak kaget: “Guratan ini.. guratan ini kenapa terputus disini?” Dia mengangkat kepala melihat kemuka Su Jichen. Badannya gemetaran, tangannya menunjuk kearah Su Jichen: “Kamu.. kamu…”

“Ya. Setelah itu saya menenggak sisa racun tikus yang ada dimeja.”
“Disini bukan duniamu. Kenapa kamu datang kemari?”
“Karena saya bingung tidak tahu mau tanya kesiapa.”
“Jangan ganggu aku. Pergilah dari sini.”
“Tidak sebelum saya mendapatkan jawabannya.”
“Apa yang ingin ditanya?”
“Dialam baka saya menemui Xiuyi. Tapi kenapa saya tidak menemui Cuifeng?”
“Tidak. Saya tidak bisa memberitahukan karena itu akan melanggar kodrat.”
“Persetan dengan segala kodrat. Saya harus tahu.”
“Tidak. Tidak seorangpun peramal yang boleh membocorkan hal demikian kepada roh.”
“Didunia ini dia sudah menghilang begitu lama dari saya. Kenapa didunia sana dia menghilang lagi?” Muka Su Jichen mulai berubah jadi beringas.
“Saya tidak tahu. Pergilah dari sini. Tanya keperamal yang lain.”
“Hanya kamu yang tahu karena kamu yang terhebat. Sudah terbukti tadi. Ramalan kamu dari awal sampai akhir tidak ada satupun yang salah.”

(Bersambung)

“Jangan memaksa aku. Demi kebaikan bersama jangan memaksa aku.”
“Tidak. Saya harus mengetahuinya.” Su Jichen bangkit dari tempat duduknya.
Gui Guzi merasa dirinya terancam. Dikeluarkan sepotong cermin dari laci. Cermin itu dapat mengusir roh tapi biasanya baru akan digunakan dalam keadaan terpaksa karena dapat memusnahkan roh sehingga tidak dapat reinkarnasi lagi. Sekarang terpaksa dia mengarahkan cermin tersebut kemuka Su Jichen.

Su Jichen membalikkan mukanya. Dia mundur sampai tujuh langkah. Tapi setelah itu dia dapat menguasai keadaan. Mukanya berubah menjadi muka yang dari lubang mata, hidung, telinga dan mulut mengeluarkan darah. Mungkin itulah wajahnya saat meninggal karena racun tikus. Mendadak seluruh ruangan menjadi dingin. Dinding rumah mulai bergetar. Su Jichen ketawa ter-bahak2: “Gui Guzi, kamu mau memusnahkan aku?”

Gui Guzi mengarahkan cermin ber-ulang2 kearah muka Su Jichen tapi tidak mempan. Dia baru menyadari bahwa Su Jichen adalah roh yang amat penasaran. Roh2 demikian kekuatannya berlipat ganda karena himpunan kekuatan dari rasa penasarannya. Karena tahu tidak kuat melawannya, Gui Guzi memejamkan mata menunggu ajal. Udara terasa makin lama makin dingin. Itu pertanda Su Jichen sudah makin mendekatinya. Tapi per-lahan2 rasa dingin itu berkurang dan getaran dinding rumahnya juga ber-angsur2 mereda. Akhirnya semuanya menjadi normal kembali.

Gui Guzi membuka kedua matanya. Dilihatnya Su Jichen bersujud dihadapannya. Mukanya sudah berubah kembali menjadi muka semula yang tampan. “Tuan Gui, maaf atas kelancangan saya tadi. Saya memang tidak boleh memaksa anda melanggar kodrat. Baiklah, saya pamit dulu.” Sehabis berkata, Su Jichen berdiri, berbalik badan dan pergi.

Ketika Su Jichen hampir melangkahi pintu keluar, mendadak Gui Guzi berteriak: “Tuan Su, tunggu. Tolong balik kembali. Ada hal yang ingin kusampaikan.” Su Jichen balik kedalam dan duduk kembali dikursi tadi. Terlihat Gui Guzi mengambil sebotol arak dari lemari dibelakang mejanya. Setelah itu sambil mengelus-elus dadanya dia berkata:

“Tuan Su, anda telah berbaik hati tidak membunuhku padahal aku yang memulai untuk memusnahkanmu. Aku juga punya hati nurani. Masa bodoh segala macam kodrat itu. Kalau aku tidak memberitahukan kenapa kamu tidak bisa menemui Cuifeng, seumur hidupku nanti batinku akan tersiksa.

Ditenggakkannya sebotol arak itu sampai habis, Gui Guzi melanjutkan kata2nya: “Ibumu menyuruh kakak sulungmu menyusulmu kekamar Cuifeng. Ketika dia sampai, pas pada saat kamu tidak sadarkan diri setelah minum racun tikus. Kamu digotong kekamar kakak sulungmu dan segera dipanggilkan tabib. Tapi waktu tabib tiba, nyawamu sudah tidak tertolong lagi. Sebaliknya Cuifeng ditolong oleh kedua pembantu rumah tangga itu. Mereka mengorek-ngorek tenggorokan Cuifeng dan sebagian besar racun tikus termuntah kembali. Cuifeng tertolong dan oleh sebab itu kamu tidak bisa menemuinya dialam baka.”

Su Jichen terdiam lama. Jelas terlihat rasa kecewa dimukanya. “Oh, rupanya begitu… Lalu dia berada dimana sekarang?”
“Sancai, sancai.. Janganlah mengganggu dia. Kalian sekarang berada didunia yang berbeda.”
“Saya tidak akan mengganggu dia. Saya cuma ingin melihatnya terakhir kalinya sebelum kembali kealam baka.”
“Baiklah kalau begitu. Dia sekarang ada dibiara yang terletak dipinggir kota sebelah timur. Dia telah menjadi seorang nigu (pendeta wanita yang kepalanya juga diplontoskan).”
“Terima kasih tuan Gui, Su Jichen berhutang budi kepadamu. Saya pamit dulu.”

Jam tepat menunjukkan jam 12 tengah malam ketika Su Jichen meninggalkan rumah Gui Guzi. Terlihat dia berjalan menuju kerumahnya, rumah keluarga Su. Pertama-tama terlihat dia masuk kekamar tidur kedua orang tuanya. Dia sudah berbentuk roh. Dia dapat dengan leluasa menerobos dinding. Terlihat dia menekuk lutut dan membenturkan kepalanya 3 kali kelantai untuk menghormati orang tuanya. Setelah itu ber-turut2 dia kekamar tidur kakak sulung, kakak kedua dan kakak ketiganya dan lalu terakhir dia menuju ke bekas kamar Cuifeng. Terlihat anaknya tertidur lelap disamping seorang baby sitter baru. Setelah melihat anaknya, dia menuju ke meja yang terletak ditengah kamar dan duduk disalah satu kursi disamping meja itu. Lama sekali dia duduk dikursi itu. Tampak air mata bercucuran dari mukanya. Pasti dia lagi merenungkan saat2 Cuifeng menceritakan pengalamannya malam itu.

Setelah meninggalkan rumahnya, dia menuju biara yang disebutkan oleh Gui Guzi. Ditengah malam begini diruang sembayang terlihat masih ada lampu menyala. Seorang nigu dengan pakaian abu2 terlihat lagi membaca doa sambil mengetok-ngetok bokhie (genggaman kayu berbentuk ikan yang digunakan waktu berdoa). Sambil berdoa si nigu mengucurkan air matanya. Berarti nigu tersebut belum mampu melupakan kesedihan yang dialaminya sewaktu masih menjadi orang biasa.

Su Jichen cuma bisa melihat dari jauh. Sebagai roh dia tidak dapat berada terlalu dekat dengan ruang sembahyang. Dia terus menatap wajah nigu tersebut – wajah yang tidak bisa dia lupakan waktu sebagai manusia maupun sebagai roh sekarang. Terdengar Su Jichen menggumam sendiri: “Tengah malam begini dia masih berdoa. Dia pasti tidak bisa tidur. Cuifeng, kita berdua sungguh tidak berjodoh. Semoga Tuhan mengasihani kita dan mempertemukan kita dikehidupan yang akan datang.”

Su Jichen sebenarnya belum mau pergi. Tapi suara doa dan suara bokhie membuat kepalanya pusing karena dia sekarang bukan manusia lagi. Dengan sedih diapun meninggalkan biara tersebut dan menghilang di kegelapan malam.

XXXXXX

Setelah kejadian malam itu, Gui Guzi jatuh sakit dan sampai enam bulan kemudian baru sembuh. Tetapi setelah sembuh dia tidak menjadi peramal lagi karena kekuatan meramalnya sudah hilang. Itu adalah hukuman yang diterimanya karena melanggar kodrat dengan memberikan informasi kepada roh. (Seluruh cerita selesai!)